Cina adalah pabrik dunia. Produksi berbagai gadget elektronik terbaru, komponen dalam smartphone atau tablet, sampai pakaian merek terkenal atau sepatu yang dikenakan penduduk dunia sebagian besar berasal dari pabrik-pabrik di sana.
Bukan hanya dari pabrik-pabrik yang mengerjakan pesanan dari perusahaan global, aktivitas produksi perusahaan lokal di Cina pun tak kalah aktifnya. Terlihat dari bagaimana produk-produk Cina membanjiri pasar dunia, termasuk ke Indonesia.
Aktivitas-aktivitas produksi dalam skala masif tersebut tentu punya dampak merusak lingkungan. Salah satunya adalah rusaknya sumber air, racun serta limbah berbahaya masuk ke sungai-sungai yang sebenarnya menjadi sumber air minum.
Kerusakan lingkungan akibat aktivitas produksi ini sering luput dari perhatian publik. Jangankan memperhatikan, mungkin banyak dari kita yang tidak tahu apakah air yang kita pakai sehari-hari tercemar limbah pabrik atau tidak.
Berbeda dengan Indonesia yang sering menutup-nutupi atau memoles data pencemaran lingkungan yang terjadi, pemerintah Cina justru transparan terhadap rakyatnya dalam menyediakan data soal polusi air. Data ini bahkan bisa diakses semua orang dengan akses internet karena ditampilkan lewat peta digital. Pemerintah Cina bahkan ingin data pencemaran lingkungan ini semakin banyak terkumpul dengan kualitas yang semakin tajam.
Lewat peta itu, warga negara Cina bisa melihat langsung data terbaru polusi yang terjadi di sungai-sungai di 300 kota di 31 provinsi yang ada di negara itu. Dan yang terpenting lagi, mereka bisa langsung melihat siapa saja perusahaan yang bertanggungjawab melakukan pencemaran air tersebut dan melanggar aturan perlindungan lingkungan di negara itu.
Adalah Ma Jun, Direktur Institut Urusan Lingkungan dan Publik (Institute of Public and Environmental Affairs -- IPE), sebuah institusi resmi pemerintah, yang menjadi motor di balik munculnya peta tersebut.
Kerusakan sumber-sumber air bersih tentu menjadi masalah serius yang harus diatasi. Sayangnya, perusahaan-perusahaan yang sering mencemari sungai itu enggan membenahi rantai produksinya. Dari sinilah ide akan peta tersebut muncul.
Tak mempan dengan perusahaan, Ma Jun pun mendekati dari sisi konsumen. Peta ini memberi konsumen akses informasi seluas-luasnya akan siapa saja para perusahaan pelaku pencemaran lingkungan tersebut.
Dalam presentasinya soal membersihkan rantai suplai Cina di Rio de Janeiro, Minggu (17/6), Ma Jun menjelaskan bahwa pertumbuhan ekonomi Cina menjadikan negara tersebut sebagai salah satu pengonsumsi terbesar di dunia.
Di sisi lain, negara ini juga menjadi produsen besar. Meski begitu banyak konsumen yang tidak sadar akan dampak kerusakan lingkungan seperti apa yang muncul dari produk-produk yang mereka gunakan. Ia pun kemudian meluncurkan kampanye Green Choice pada 2007.
"Kampanye kami hanya menghubungkan antara dua titik, konsumsi dan dampaknya pada lingkungan. Kami menggunakan kekuatan konsumen untuk mengubah perilaku perusahaan," kata Ma Jun.
"Daripada kami pergi ke satu-satu pabrik-pabrik yang mencemari lingkungan atau mendekati merek terkenal, kami langsung menyoroti produk-produk apa saja yang menyebabkan kerusakan lingkungan atau polusi."
Semua temuan itu mereka daftar, kemudian daftar tersebut bisa diakses oleh publik lewat situs mereka. Bukan hanya daftar nama produk, foto produk tersebut dan kerusakan yang ditimbulkannya ikut mereka unggah. Sehingga ketika konsumen akan membeli telepon seluler, sepatu di mal, atau biskuit di supermarket, mereka langsung tahu apakah produksi benda-benda tersebut mencemari lingkungan di sekitar mereka? Dan jika iya, seperti apa kerusakannya?
Tak berhenti di situ, Ma Jun dan timnya di IPE pun membuat sebuah mesin pencari produk. "Konsumen bisa langsung memasukkan produk yang akan mereka beli di search engine tersebut, lalu mereka bisa langsung melihat, apakah produk tersebut bermasalah atau tidak dari segi lingkungan," kata Ma Jun.
Ma Jun dan timnya juga melakukan investigasi sendiri terhadap praktik produksi para suplier industri teknologi informasi di Cina. Ada 31 merek yang diinvestigasi oleh tim Ma Jun, termasuk Apple, Canon, LG, Hewlett-Packard beberapa di antaranya, semua nama-nama besar di dunia IT.
Investigasi timnya pun menemukan hasil, salah satunya bahwa rantai produksi Apple bertanggungjawab akan pencemaran logam berat beracun di Cina.
Dari hasil investigasi ini pun, IPE mengeluarkan peringkat buat perusahaan-perusahaan mana saja yang sudah memenuhi standar lingkungan dalam proses produksinya. Konsumen bisa langsung melihat daftar ini dan kemudian menuntut perusahaan untuk 'membersihkan diri'.
Selesai dengan industri teknologi informasi, pada April 2012 lalu, Ma Jun dan timnya melakukan investigasi serupa terhadap 41 industri pakaian yang memiliki pabrik di Cina. Ada Levi's Puma, Next, Adidas, Nike, Zara, beberapa di antaranya. Hasilnya tentu akan keluar dalam bentuk peringkat juga yang bisa diakses semua orang.
Ma Jun dan timnya di IPE tentu tak sendiri. Meski berada di sisi pemerintah, ia mengundang lembaga swadaya masyarakat untuk mengawasi 650 perusahaan yang berada dalam daftar hitam mereka.
"Pemerintah Cina memang punya banyak kecurigaan terhadap LSM dan ada minim rasa percaya, tapi di sisi lingkungan kami punya lebih banyak kesamaan daripada perbedaan. Pemerintah Cina lebih menoleransi LSM di bidang lingkungan. Kami memang bukan negara demokrasi dan tidak memiliki sistem hukum yang independen, tetapi setidaknya kami bisa membuat orang-orang memiliki akses lebih pada informasi seperti ini."
Saking revolusionernya peta pencemaran lingkungan ini, negara-negara yang menjadi pusat produksi berbagai merek internasional seperti Bangladesh dan Vietnam sudah menyatakan ketertarikannya untuk membuat peta serupa.
Menurut Ma Jun, Indonesia pun sebagai salah satu negara yang ingin menyaingi Cina untuk menjadi 'pabrik dunia' patut memiliki peta serupa. "Kita harus memastikan bahwa ke manapun perusahaan-perusahaan pencemar lingkungan ini memindahkan pabrik-pabriknya, mereka tidak akan melakukan pencemaran di negara lain. Tidak ada tempat aman bagi para perusahaan pencemar lingkungan ini."
[Hangat-News]