Bahasa Tionghoa vs Bahasa Jawa
Perkembangan bahasa Tionghoa (Mandarin) di era reformasi ini jauh lebih baik daripada bahasa Jawa. Meski sempat ada kebijakan Java Day di sekolah-sekolah, generasi muda kurang berminat mempelajari bahasa Jawa.
Demikian antara lain petikan diskusi bertajuk Media Berbahasa Daerah menghadapi Era Global di Hotel JW Marriott Surabaya belum lama ini. Diskusi menghadirkan sejumlah tokoh penggiat bahasa Jawa seperti Moechtar (pemimpin redaksi Panjebar Semangat), Suparto Brata (sastrawan Jawa), Darni Ragil Suparlan (dosen Unesa), serta Amir Mahmud (kepala Balai Bahasa Surabaya).
Di mata Suparto Brata, bahasa Jawa, khususnya yang krama inggil, kurang ditekuni para pelajar dan mahasiswa karena dianggap kurang menjanjikan untuk masa depan. Biasanya, perusahaan-perusahaan merekrut karyawan baru dengan syarat 'bisa berbahasa Inggris dan Mandarin'.
"Tidak ada perusahaan besar yang masang iklan butuh karyawan yang mahir bahasa Jawa. Yang dibutuhkan perusahaan besar pasti bahasa Inggris dan bahasa Tionghoa," ungkap Suparto.
Bukan itu saja. Bahasa Jawa pun tidak muncul di televisi-televisi nasional. Kalaupun muncul di televisi, menurut Suparto, umumnya bahasa Jawa itu dijadikan bahan lelucon atau lawakan. Sebaliknya, beberapa televisi nasional menyiarkan program dalam bahasa Tionghoa, baik itu berupa berita, sinetron, hingga acara-acara hiburan.
"Sekarang ini kita lebih mudah menemukan aksara Tionghoa di surat kabar ketimbang aksara Jawa. Mana ada aksara Jawa di surat kabar?" tukas pria yang masih aktif menulis di usia senja itu.
Kenyataan yang menyedihkan ini, menurut Suparto serta para pembicara lain, harus segera diantisipasi oleh semua pihak yang berhubungan dengan pendidikan bahasa dan sastra Jawa di tanah air, khususnya Jawa Timur. Harus dicari metode pembelajaran bahasa Jawa sedemikian rupa agar menarik minat generasi muda.
Repotnya, menurut Suparto, ada imej bahwa bahasa-bahasa daerah, termasuk bahasa Jawa, dianggap tidak ilmiah, bahasanya orang kampung. "Sekarang bahkan anak-anak Jawa bahkan memanggil 'mama' dan 'papa' untuk menyebut ibu dan bapaknya. Sebutan 'mama' dan 'papa' dianggap lebih modern," tambah Dami Ragil, dosen Fakultas Bahasa dan Seni Unesa.
[Hangat-News]
0 komentar:
Posting Komentar