CARS pertama, rilis 2006, adalah film produksi Pixar yang paling “kurang Pixar” dibanding film-film produksi Pixar lainnya.
Pixar adalah studio pembuat film animasi yang setiap filmnya berhasil memenangkan dua kubu, penikmat film pada umumnya (bisa dilihat dari raihan box office) dan kritikus film (bisa dilihat dari nominasi Oscar maupun penghargaan lain yang didapatnya). Cars relatif hanya memenangkan box office. Pengamat film terpecah. Untuk pertama kalinya, sejumlah pengamat film ada yang tak suka film buatan Pixar.
Skor Cars di situs RottenTomatoes “hanya” 74 persen, yang walaupun masih terhitung “fresh” alias segar, kalah dibanding film Pixar lain yang rata-rata skornya di atas 90 persen.
Mengapa Cars dianggap “kurang Pixar”?
Saat merating 10 Film Terbaik Pixar tempo hari saya menaruh Cars di nomor buncit dengan alasan “Karena filmnya sekadar menawarkan kegembiraan film animasi dan kurang “berisi” sebagai tontonan bagi penikmat film yang usianya lebih dewasa. Sebagai karya animasi keluaran Pixar dengan standar selangit, film ini tidak cukup ‘layak Pixar.’”
Saya punya sejumlah teman yang punya anak laki-laki maupun keponakan yang begitu menyukai Cars. Bocah laki-laki di bawah usia 5 tahun pasti mencandu nonton Cars. Bagi bocah, mobil-mobil hidup bersliweran adalah tontonan jenius yang seolah mewujudkan impian mereka: mobil-mobilan yang jadi mainan mereka bisa hidup.
Pada titik ini, Cars lebih terasa sebagai tontonan anak-anak, bukan untuk semua umur.
Syahdan, kisah mobil-mobilan hidup diangkat kembali Pixar lewat tangan John Lasseter, pria yang memimpin Pixar sehari-hari, dibantu Brad Lewis. Sejak membuat film panjang (feature film) pertama tahun 1995 lewat Toy Story, Cars adalah film kedua yag kemudian dijadikan franchise alias dibuatkan sekuelnya. Ini berarti Pixar merasa ada potensi pada film ini hingga kisahnya perlu diceritakan kembali.
Tapi, benarkah demikian?
Cars 2 pada kenyataannya, meminjam istilah ahli film Geoff King di bukunya, adalah film dengan formula spectacular narrative. Film Hollywood saat ini, klaim King di buku terbitan 2001 itu, tidak sekadar bersandar pada elemen naratif, tapi pada elemen naratif yang spektakuler. Elemen yang spektakuler itu berarti filmnya dibuat lebih wah dari pendahulunya.
Dalam kasus Cars 2, jika film pertama hanya berfokus setting di pedalaman Amerika yang tandus, sekarang mobil-mobil bersliweran hingga ke Jepang, Perancis, Italia, dan Inggris. Jenis mobil yang muncul pun semakin beragam, termasuk model mobil balap Formula 1.
***
Hollywood konon sedang dilanda krisis kreativitas hingga yang dihasilkannya melulu mengulang-ulang cerita lama yang dilanjutkan (sekuel) maupun dipermak ulang bagi penonton baru (remake dan reboot).
Cars, apa mau dikata, masuk jajaran itu.
Untungnya, Pixar tidak pernah membuat film sembarangan yang sekadar spektakuler dan melupakan elemen-elemen penceritaan yang membuat filmnya disukai. Narasi spektakuler rasa Pixar tetaplah sebuah tontonan yang menghibur.
Anak umur di bawah 5 tahun dijamin pasti suka dengan mobil-mobil hidup, bicara sekaligus kebut-kebutan di depan mata mereka. Bagi penonton dewasa, ada penceritaan yang sesuai konteks bagi mereka.
Yang saya maksud adalah sub-plot kisah spionase ala James Bond. Film ini meminjam referensi kisah James Bond mulai dari awal filmnya. Di bagian awal Cars 2 kita diperlihatkan agen rahasia Inggris, “seorang” mobil Aston Martin bernama Finn McMissile (suaranya diisi suara khas Michael Caine) beraksi memporak-porandakan markas penjahat. Aksi spektakuler di awal film ini sangat khas James Bond.
Tidak cuma itu, perpindahan kisah yang melibatkan tempat-tempat eksotik beberapa negara juga mengingatkan setiap penonton film pada cerita James Bond.
Dengan sub-plot spionase, Cars 2 tidak sekedar kisah balap mobil. Bahkan cerita balapan mobil kalah pamor dibanding aksi spionase. Cars 2 juga memberi porsi lebih banyak pada tokoh Mater (suaranya diisi komedian Larry the Cable Guy), truk derek rongsok yang di film pertama jadi tokoh sampingan (side-kick). Mater secara tak sengaja didapuk jadi agen rahasia dan terlibat dalam aksi spionase yang berbahaya. Jagoan kita, Lightning McQueen (Owen Wilson), sang jawara balap, seolah menyingkir ke pinggir karena kisah Mater mendapat jatah lebih banyak.
Perubahan ini meninggalkan konsekuensi. Tak dipungkiri, Mater memang paling mencuri perhatian dengan tingkah kocak, kikuk, dan sedikit bodoh. Tapi karakter semacam Mater sebenarnya lebih pas tetap menjadi side-kick. Saat perannya ditambah, kita seperti kehilangan sosok jagoan yang sempurna.
Kemudian, Cars 2 juga memberi sub-teks pada penonton dewasa dengan pesan keserakahan korporasi untuk menyingkirkan bensin ramah lingkungan oleh ... ah, nanti saya malah jadi spoiler. Yang hendak saya tekankan, tentu sub-teks ini hanya akan dipahami penonton dewasa. Tapi, dengan segala kehebohan aksi dan adegan balap mobil, sub-teks ini muncul ala kadarnya. Begitu juga pesan persahabatan antara Lightning McQueen dan Mater. Buat saya, pesan-pesan film Pixar kali ini sekadar tempelan, kurang mengena ke hati. Momen mengharukan yang saya dapat saat menonton Ratatouille, Toy Story 3, Wall-E, atau apalagi Up tidak ada pada Cars 2.
Cars 2, seperti pendahulunya, “kurang Pixar” buat saya.
Meski demikian, saya tak hendak bilang filmnya buruk ataupun tak layak tonton. Saya menikmati setiap momen di Cars 2. Sebagai penyuka film-film spionase ala James Bond, saya sangat menyukai pilihan kreatif sineasnya. Cars 2 bukanlah kegagalan bagi Pixar di mata saya. Cars 2 adalah film yang fun. Walau tidak lebih dari itu.
[Hangat-News]
0 komentar:
Posting Komentar