Proses panjang pemilihan presiden 2014 akhirnya telah selesai.
Mahkamah Konstitusi telah memutuskan menolak seluruh gugatan pasangan
Prabowo-Hatta. Atau dengan kata lain MK sejalan dengan keputusan Komisi
Pemilihan Umum yang menetapkan Jokowi-Jusuf Kalla sebagai pemenang
pilpres. Sesuai norma hukum yang ada, putusan MK adalah bersifat final
dan mengikat. Tidak ada peluang hukum lain bagi kubu Prabowo-Hatta untuk
menolak kemenangan Jokowi-Hatta. Kita sudah terlalu lama disibukkan
dengan agenda politik sejak April lalu. Memang, urusan politik 2014
belum tuntas seluruhnya. Masih ada pelantikan anggota DPRD Provinsi,
Kabupaten/Kota, MPR dan Presiden-Wakil Presiden terpilih sampai Oktober
nanti. Tapi kegiatan ini bisa dikatakan sebagai acara seremonial politik
saja.
Pelajaran penting pilpres 2014
Ada beberapa perbedaan mendasar pelaksanaan pilpres 2014 dengan pilpres
sebelumnya. Pertama, jumlah kontestan yang hanya dua pasangan saja.
Yaitu Jokowi-JK dengan dukungan politik dari PDI-P, Nasdem, PKB, Hanura,
dan PKPI. Lalu pasangan Prabowo-Hatta yang disokong Gerindra, Golkar,
PKS, PPP, PAN, PBB dan belakangan menyusul Demokrat. Di atas kertas,
duet Prabowo-Hatta mengungguli Jokowi-JK. Mengaca pada hasil pileg,
koalisi Prabowo-Hatta memiliki 59, 12 persen suara. Sedangkan Jokowi-JK
hanya meraih40,88 persen suara. Namun, politik bukanlah hitungan
matematis yang memiliki hasil pasti.Pada pilpres, sosok atau figur amat
menentukan pilihan konstituen. Hal ini berbeda dengan pileg, yang
meskipun menggunakan sistem langsung, konstituen tetap bisa memilih
partai. Karenanya, pilihan seseorang pada pileg bisa berubah pada
pilpres. Bisa jadi calon presiden-wakil presiden yang dipilihnya berasal
dari partai yang berbeda dengan partai yang dipilihnya pada masa pileg.
Pada ranah inilah, figur Jokowi-JK berhasil merebut simpati rakyat
untuk memilih mereka.
Kedua, pelibatan rakyat pada pilpres kali ini sangat kentara
dibandingkan dengan pelaksanaan pilpres sebelumnya. Terkhususya relawan
dari kaum muda yang banyak membentuk jaringan kerja di seluruh daerah
untuk memenangkan jagoannya. Bahkan kerja-kerja politik relawan bisa
mengimbangi mesin parpol yang notabenenya memiliki struktur organisasi
dari pusat sampai daerah. Para relawan bergerak tanpa ada komando
sentral dan dana besar, namun hasilnya terkadang jauh terasa
dibandingkan mesin partai. Kembali sosok figur capres-cawapres menjadi
faktor utama munculnya gerakan relawan di berbagai daerah. Khususnya
penetapan Jokowi sebagai capres berhasil memantik gairah politik kaum
muda yang selama ini statis. Strategi “blusukan” Jokowi yang sudah
dilakukannya sejak di Solo dan dilanjutkan di Jakarta ampuh mengubah
mainstream politik elitis menjadi politik kerakyatan.
Ketiga,terkait kegaduhan politik yang terjadi. Hal ini dimulai dari
perang wacana/isu semasa kampanye. Masyarakat disajikan beraneka ragam
kampanye yang sayangnya didominasi kampanye hitam (black campaign).
Strategi isu SARA kembali menjadi andalan utama para politikus kerdil
untuk memengaruhi pilihan rakyat. Tugas elite politik untuk memberikan
pendidikan politik kritis berupa adu visi-misi dan program kerja malah
diabaikan. Mereka lebih senang menggunakan cara instan nan kotor untuk
merebut simpati rakyat. Kegaduhan ini terus berlanjut tatkala Jokowi-JK
memenangi pilpres. Hasil quick qount sesaat pencoblosan ternyata tidak
jauh berbeda dengan keputusan KPU untuk menetapkan Jokowi-JK sebagai
presiden dan wakil presiden 2014-2019. Kubu Prabowo-Hatta tidak menerima
keputusan ini dan menggugatnya ke MK. Mereka menuduh telah terjadi
kecurangan pilpres secara terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) yang
mengakibatkan penggelembungan suara untuk Jokowi-JK dan pengurangan
suara bagi Prabowo-Hatta. Pihak Koalisi Merah Putih mengklaim mereka
sesungguhnya memperoleh 67. 139.153 suara (50,25%), sedangkan Jokowi-JK
hanya 66.435.124 suara (49,74%).Proses persidangan di MK menjadi klimaks
kegaduhan politik ini. Tiap pasangan dan KPU saling memberikan saksi,
bukti dokumen dan pendapat (saksi ahli). Adegan demi adegan yang
berlangsung hampir setiap hari disiarkan secara langsung oleh media.
Baru kali ini protes terhadap hasil pemilu mendapatkan porsi besar baik
dari masyarakat maupun media. Pendukung pro Prabowo-Hatta selalu
mendatangi sidang MK. Bahkan menjelang hari H, situasi semakin memanas.
Hakim MK pun kerap mendapatkan teror. Meskipun demikian, publik tetap
menaruh kepercayaan besar kepada MK untuk memutus perkara secara adil.
Rekonsiliasi
Tidak ada lagi celah hukum untuk mengganjal Jokowi-JK sebagai suksesor
SBY-Boediono. Bahkan niat Koalisi Merah Putih untuk menggunakan strategi
politik dengan pembuatan pansus pilpres dinilai kontraproduktif. Bukan
hanya di internal koalisi ini sendiri, namun juga bagi rakyat. Di mana
rakyat sudah jenuh dan bosan dengan intrik-intrik politik dari sebagian
elite yang tidak memiliki sikap negarawan untuk legowo menerima hasil
pilpres. Kegaduhan politik harus segera diakhiri. Elite politik dan
partai politik, dari kedua pasangan, kini harus menatap ke depan. Yaitu
membangun Indonesia selama lima tahun ke depan agar lebih baik, terutama
bagi rakyat kecil. Dengan kata lain, rekonsiliasi politik perlu
secepatnya direalisasikan antara dua kubu. Dan hal ini bisa dimulai oleh
Jokowi-JK dengan mengajak pasangan Prabowo-Hatta duduk bersama
membicarakan program pemerintahan mendatang.
Rekonsiliasi politik tidak serta merta menjadi pintu masuk bagi
partai pendukung Prabowo-Hatta untuk bergabung dengan pemerintahan
Jokowi-JK. Rekonsiliasi politik murni untuk menyudahi “perang” antara
dua kubu agar pemerintahan yang mendatang bisa fokus mengimplementasikan
program kerjanya. Rekonsiliasi politik harus dijauhkan dari ajang
politik transaksional yang bisa saja digunakan oleh segelintir elite
demi kepentingan politik pragmatis. Kita berharap dengan rekonsiliasi
politik ini akan tercipta suasana kondusif di tataran grass
root.Masalahnya, bagaimana jika rekonsiliasi politik ini tidak terjadi?
Bagaimana jika kubu yang kalah tetap mempersoalkan legalitas Jokowi-JK?
Jika ini yang terjadi maka yang paling dirugikan adalah rakyat kecil.
Masyarakat terus digiring untuk meyakini bahwa pilpres 2014 adalah
inkonstitusional karena disertai dengan kecurangan pemilu yang
terstruktur, sistematis dan masif. Meskipun dalil ini sudah dimentahkan
oleh MK sekalipun.
Maka, untuk mengatasinya, adalah dengan pembuktian janji-janji
kampanye Jokowi-JK. Pasangan nomor urut dua ini harus segera membuat
program yang pro rakyat kecil, seperti pengejewantahan Kartu Indonesia
Sehat dan Kartu Indonesia Pintar. Selain juga komitmen kuat untuk
mendukung pemberantasan korupsi yang semakin menggurita. Hanya dengan
program-program pro rakyat lah, pemerintahan Jokowi-JK dapat berjalan
dengan efektif. Meskipun terus diserang dengan segala instrumen politik,
hal ini tidak akan berpengaruh banyak kepada masyarakat. Karena pada
akhirnya rakyat akan mendukung elite politik yang sungguh-sungguh
bekerja untuk rakyat.
Dua program utama
Setelah dilantik pada 20 Oktober nanti, pemerintahan baru segera
disibukkan untuk menepati janji-janji kampanye. Dalam hal ini, langkah
Jokowi membentuk Tim Transisipatut diapresiasi. Tim yang dipimpin oleh
Rini Soemarno ini diberi tugas untuk mengidentifikasi masalah-masalah
kebangsaan beserta solusinya. Termasuk mendata individu yang layak masuk
kabinet. Keputusan akhir memang di tangan Jokowi-JK, tapi dengan adanya
tim transisi, Jokowi-JK memiliki permasalahan urgen yang harus cepat
ditindaklanjuti.Dari sekian banyak pekerjaan rumah yang harus diatasi,
setidaknya ada dua agenda penting yang mesti mendapat atensi lebih.
Pertama, mengcounter gerakan fundamentalisme agama (gerakan
transnasional) yang semakin gencar dalam berbagai variannya.
Fundamentalisme agama bisa terjadi di agama mana saja. Khusus untuk
Indonesia, yang menguat adalah Fundamentalisme Islam. Fundamentalisme
Islam bukan barang baru buat kita. Bahkan ia sudah ada sejak ratusan
tahun lalu sebelum Indonesia lahir. Seperti yang terjadi pada perang
antara kaum adat dan modernis (wahabi) dalam perang Paderi (Ilusi Negara
Islam, 2009). Tujuan gerakan transnasional adalah penerapan syariat
Islam dalam struktur kehidupan berbangsa dan bernegara (formalisasi
agama).
Wujud gerakan ini menggunakan kekerasan (terorisme dan ormas radikal)
dan kebijakan (UU, Perda) oleh agen-agen mereka yang menguasai
eksekutif dan legislatif. Bagi kita, gerakan transnasional ini
bertentangan dengan Konstitusi dan Kebhinekaan. Konstitusi menjamin
setiap warga negara untuk bebas memeluk agama/keyakinan, bebas
berekspresi, dan memberikan rasa aman-sejahtera tanpa memandang agama,
suku atau golongan. Dan mengancam kebhinekaan karena bertujuan untuk
menyeragamkan tata nilai (pergaulan) hidup di bawah satu peraturan
(syariat). Dengan kata lain, gerakan transnasional dapat membahayakan
keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa. Ia mengancam kesejarahan kita
yang tak terbantahkan: konsensus untuk bersatu menjadi satu negara
merdeka di atas segala perbedaan yang ada.
Karenanya, pemerintah harus membuat formula yang tepat agar gerakan ini
tidak semakin meluas. Pendekatan represif tidak akan cukup jika tidak
dibarengi gerakan penyadaran di masyarakat. Diskusi atau dialog yang
melibatkan lembaga agama, tokoh/aktivis agama, dan umat harus dijadikan
agenda rutin. Cara ini lebih ampuh untuk menangkal indoktrinasi kaum
fundamentalis.
Persoalan mendasar kedua adalah pemberantasan korupsi. Janji Jokowi
untuk menambah anggaran dan staf KPK harus cepat direalisasikan.
Kemudian, menjamin kewenangan KPK tidak dipangkas melalui perubahan
regulasi (UU KPK, KUHAP) yang telah berulangkali diinisiasi anggota DPR.
Persoalan korupsi menjadi amat penting karena ia sebagai extra ordinary
crime berdampak luas dan masif. Korupsi adalah penyebab utama
kemiskinan. Anggaran yang seharusnya digunakan untuk pembangunan
kesejahteraan, kesehatan, pendidikan, dikorup elite politik untuk
kepentingan diri dan kelompoknya.Bahkan seorang koruptor jauh lebih
berbahaya dibandingkan seorang pelacur. Koruptor tidak hanya berdosa
kepada Tuhan, tapi juga terhadap rakyat. Selain memperkuat KPK,
pemerintahan Jokowi-JK juga harus berani mencegah dan memberantas
korupsi dari lingkungan terdekatnya. Dimulai dari lingkaran istana,
kabinet, dan parpol pendukungnya.Pemberantasan korupsi akan jauh lebih
efektif jika dimulai dari pusat-pusat kekuasaan.
Menjadi oposisi
Terpilihnya Jokowi sebagai presiden memang menumbuhkan asa baru.
Kinerjanya di Solo dan Jakarta dinilai positif. Kebijakan dan
blusukannya mendapatkan atensi luas dari masyarakat. Tapi menjadi
seorang Presiden tentunya mempunyai skala tantangan yang berbeda.
Terutama dari elite politik, baik yang berasal dari koalisi pendukungnya
maupun dari kelompok parpol (oposisi). Disinilah pertarungan
sesungguhnya. Mampukah ia bekerja sesuai amanat Konstitusi atau justru
berkompromi dengan agenda-agenda terselubung elite parpol.
Dalam situasi seperti inilah, check and balance sebagai keharusan
dalam demokrasi memiliki peranan penting. Tiadanya hal ini dapat
melahirkan rezim otoritarian. Karena itu, pemerintahan Jokowi-Jk harus
dikawal sejak dini. Tidak hanya oleh para relawan, tapi oleh seluruh
komponen masyarakat seperti media, aktivis/NGO, pranata pendidikan, dan
lembaga keumatan. Apa yang dikawal? Ialah kebijakan pemerintah sebagai
eksekusi dari visi-misi dan program kerja. Indikatornya adalah kebijakan
itu harus bernafaskan amanat Konstitusi. Kita harus berani menolak
kebijakan yang hanya menyusahkan rakyat. Demikian pula sebaliknya,
mendukung kebijakan yang sejalan dengan Konstitusi.
Menjadi oposisi bukan barang tabu atau diharamkan. Demokrasi
menggaransinya. Hanya saja, sikap oposisi yang dibangun berdasarkan
kepentingan obyektif bukan kepentingan politik pragmatis. Maka, oposisi
yang dibangun oleh masyarakat sipil berbeda dengan oposisi oleh partai.
Yang pertama murni dilandasi semangat demokratisasi yang sudah dirintis
pasca rezim Soeharto. Sedangkan yang kedua lebih didasari kepentingan
pragmatis. Karena itu, meskipun sama-sama beroposisi kepada pemerintah,
bisa jadi pada suatu waktu mengambil kebijakan yang tidak sama.
Akhir kata, rakyat telah memberikan kesempatan kepada Jokowi-JK untuk
membawa Indonesia lebih baik dari pemerintahan sebelumnya. Dan sekarang
giliran mereka untuk mengemban amanat ini dengan sebaik-baiknya.
Semoga.
[Hangat-News]
MARI KITA KAWAL PEMERINTAHAN JOKOWI
Written By admin on Rabu, 24 September 2014 | 16.31
Label:
Hiburan,
Interlokal,
Lokal,
Unik
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar