Hi quest ,  welcome  |  sign in  |  registered now  |  need help ?
Iklan
Kunjungi Sponsor Kami
Terimakasih
Semoga Artikel Bisa Bermanfaat
[x]

MARI KITA KAWAL PEMERINTAHAN JOKOWI

Written By admin on Rabu, 24 September 2014 | 16.31

Proses panjang pemilihan presiden 2014 akhirnya telah selesai. Mahkamah Konstitusi telah memutuskan menolak seluruh gugatan pasangan Prabowo-Hatta. Atau dengan kata lain MK sejalan dengan keputusan Komisi Pemilihan Umum yang menetapkan Jokowi-Jusuf Kalla sebagai pemenang pilpres. Sesuai norma hukum yang ada, putusan MK adalah bersifat final dan mengikat. Tidak ada peluang hukum lain bagi kubu Prabowo-Hatta untuk menolak kemenangan Jokowi-Hatta. Kita sudah terlalu lama disibukkan dengan agenda politik sejak April lalu. Memang, urusan politik 2014 belum tuntas seluruhnya. Masih ada pelantikan anggota DPRD Provinsi, Kabupaten/Kota, MPR dan Presiden-Wakil Presiden terpilih sampai Oktober nanti. Tapi kegiatan ini bisa dikatakan sebagai acara seremonial politik saja.
xlarge_paspamres
Pelajaran penting pilpres 2014
Ada beberapa perbedaan mendasar pelaksanaan pilpres 2014 dengan pilpres sebelumnya. Pertama, jumlah kontestan yang hanya dua pasangan saja. Yaitu Jokowi-JK dengan dukungan politik dari PDI-P, Nasdem, PKB, Hanura, dan PKPI. Lalu pasangan Prabowo-Hatta yang disokong Gerindra, Golkar, PKS, PPP, PAN, PBB dan belakangan menyusul Demokrat. Di atas kertas, duet Prabowo-Hatta mengungguli Jokowi-JK. Mengaca pada hasil pileg, koalisi Prabowo-Hatta memiliki 59, 12 persen suara. Sedangkan Jokowi-JK hanya meraih40,88 persen suara. Namun, politik bukanlah hitungan matematis yang memiliki hasil pasti.Pada pilpres, sosok atau figur amat menentukan pilihan konstituen. Hal ini berbeda dengan pileg, yang meskipun menggunakan sistem langsung, konstituen tetap bisa memilih partai. Karenanya, pilihan seseorang pada pileg bisa berubah pada pilpres. Bisa jadi calon presiden-wakil presiden yang dipilihnya berasal dari partai yang berbeda dengan partai yang dipilihnya pada masa pileg. Pada ranah inilah, figur Jokowi-JK berhasil merebut simpati rakyat untuk memilih mereka.
Kedua, pelibatan rakyat pada pilpres kali ini sangat kentara dibandingkan dengan pelaksanaan pilpres sebelumnya. Terkhususya relawan dari kaum muda yang banyak membentuk jaringan kerja di seluruh daerah untuk memenangkan jagoannya. Bahkan kerja-kerja politik relawan bisa mengimbangi mesin parpol yang notabenenya memiliki struktur organisasi dari pusat sampai daerah. Para relawan bergerak tanpa ada komando sentral dan dana besar, namun hasilnya terkadang jauh terasa dibandingkan mesin partai. Kembali sosok figur capres-cawapres menjadi faktor utama munculnya gerakan relawan di berbagai daerah. Khususnya penetapan Jokowi sebagai capres berhasil memantik gairah politik kaum muda yang selama ini statis. Strategi “blusukan” Jokowi yang sudah dilakukannya sejak di Solo dan dilanjutkan di Jakarta ampuh mengubah mainstream politik elitis menjadi politik kerakyatan.
Ketiga,terkait kegaduhan politik yang terjadi. Hal ini dimulai dari perang wacana/isu semasa kampanye. Masyarakat disajikan beraneka ragam kampanye yang sayangnya didominasi kampanye hitam (black campaign). Strategi isu SARA kembali menjadi andalan utama para politikus kerdil untuk memengaruhi pilihan rakyat. Tugas elite politik untuk memberikan pendidikan politik kritis berupa adu visi-misi dan program kerja malah diabaikan. Mereka lebih senang menggunakan cara instan nan kotor untuk merebut simpati rakyat. Kegaduhan ini terus berlanjut tatkala Jokowi-JK memenangi pilpres. Hasil quick qount sesaat pencoblosan ternyata tidak jauh berbeda dengan keputusan KPU untuk menetapkan Jokowi-JK sebagai presiden dan wakil presiden 2014-2019. Kubu Prabowo-Hatta tidak menerima keputusan ini dan menggugatnya ke MK. Mereka menuduh telah terjadi kecurangan pilpres secara terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) yang mengakibatkan penggelembungan suara untuk Jokowi-JK dan pengurangan suara bagi Prabowo-Hatta. Pihak Koalisi Merah Putih mengklaim mereka sesungguhnya memperoleh 67. 139.153 suara (50,25%), sedangkan Jokowi-JK hanya 66.435.124 suara (49,74%).Proses persidangan di MK menjadi klimaks kegaduhan politik ini. Tiap pasangan dan KPU saling memberikan saksi, bukti dokumen dan pendapat (saksi ahli). Adegan demi adegan yang berlangsung hampir setiap hari disiarkan secara langsung oleh media. Baru kali ini protes terhadap hasil pemilu mendapatkan porsi besar baik dari masyarakat maupun media. Pendukung pro Prabowo-Hatta selalu mendatangi sidang MK. Bahkan menjelang hari H, situasi semakin memanas. Hakim MK pun kerap mendapatkan teror. Meskipun demikian, publik tetap menaruh kepercayaan besar kepada MK untuk memutus perkara secara adil.
Rekonsiliasi
Tidak ada lagi celah hukum untuk mengganjal Jokowi-JK sebagai suksesor SBY-Boediono. Bahkan niat Koalisi Merah Putih untuk menggunakan strategi politik dengan pembuatan pansus pilpres dinilai kontraproduktif. Bukan hanya di internal koalisi ini sendiri, namun juga bagi rakyat. Di mana rakyat sudah jenuh dan bosan dengan intrik-intrik politik dari sebagian elite yang tidak memiliki sikap negarawan untuk legowo menerima hasil pilpres. Kegaduhan politik harus segera diakhiri. Elite politik dan partai politik, dari kedua pasangan, kini harus menatap ke depan. Yaitu membangun Indonesia selama lima tahun ke depan agar lebih baik, terutama bagi rakyat kecil. Dengan kata lain, rekonsiliasi politik perlu secepatnya direalisasikan antara dua kubu. Dan hal ini bisa dimulai oleh Jokowi-JK dengan mengajak pasangan Prabowo-Hatta duduk bersama membicarakan program pemerintahan mendatang.
Rekonsiliasi politik tidak serta merta menjadi pintu masuk bagi partai pendukung Prabowo-Hatta untuk bergabung dengan pemerintahan Jokowi-JK. Rekonsiliasi politik murni untuk menyudahi “perang” antara dua kubu agar pemerintahan yang mendatang bisa fokus mengimplementasikan program kerjanya. Rekonsiliasi politik harus dijauhkan dari ajang politik transaksional yang bisa saja digunakan oleh segelintir elite demi kepentingan politik pragmatis. Kita berharap dengan rekonsiliasi politik ini akan tercipta suasana kondusif di tataran grass root.Masalahnya, bagaimana jika rekonsiliasi politik ini tidak terjadi? Bagaimana jika kubu yang kalah tetap mempersoalkan legalitas Jokowi-JK? Jika ini yang terjadi maka yang paling dirugikan adalah rakyat kecil. Masyarakat terus digiring untuk meyakini bahwa pilpres 2014 adalah inkonstitusional karena disertai dengan kecurangan pemilu yang terstruktur, sistematis dan masif. Meskipun dalil ini sudah dimentahkan oleh MK sekalipun.
Maka, untuk mengatasinya, adalah dengan pembuktian janji-janji kampanye Jokowi-JK. Pasangan nomor urut dua ini harus segera membuat program yang pro rakyat kecil, seperti pengejewantahan Kartu Indonesia Sehat dan Kartu Indonesia Pintar. Selain juga komitmen kuat untuk mendukung pemberantasan korupsi yang semakin menggurita. Hanya dengan program-program pro rakyat lah, pemerintahan Jokowi-JK dapat berjalan dengan efektif. Meskipun terus diserang dengan segala instrumen politik, hal ini tidak akan berpengaruh banyak kepada masyarakat. Karena pada akhirnya rakyat akan mendukung elite politik yang sungguh-sungguh bekerja untuk rakyat.
Dua program utama
Setelah dilantik pada 20 Oktober nanti, pemerintahan baru segera disibukkan untuk menepati janji-janji kampanye. Dalam hal ini, langkah Jokowi membentuk Tim Transisipatut diapresiasi. Tim yang dipimpin oleh Rini Soemarno ini diberi tugas untuk mengidentifikasi masalah-masalah kebangsaan beserta solusinya. Termasuk mendata individu yang layak masuk kabinet. Keputusan akhir memang di tangan Jokowi-JK, tapi dengan adanya tim transisi, Jokowi-JK memiliki permasalahan urgen yang harus cepat ditindaklanjuti.Dari sekian banyak pekerjaan rumah yang harus diatasi, setidaknya ada dua agenda penting yang mesti mendapat atensi lebih.
Pertama, mengcounter gerakan fundamentalisme agama (gerakan transnasional) yang semakin gencar dalam berbagai variannya. Fundamentalisme agama bisa terjadi di agama mana saja. Khusus untuk Indonesia, yang menguat adalah Fundamentalisme Islam. Fundamentalisme Islam bukan barang baru buat kita. Bahkan ia sudah ada sejak ratusan tahun lalu sebelum Indonesia lahir. Seperti yang terjadi pada perang antara kaum adat dan modernis (wahabi) dalam perang Paderi (Ilusi Negara Islam, 2009). Tujuan gerakan transnasional adalah penerapan syariat Islam dalam struktur kehidupan berbangsa dan bernegara (formalisasi agama).
Wujud gerakan ini menggunakan kekerasan (terorisme dan ormas radikal) dan kebijakan (UU, Perda) oleh agen-agen mereka yang menguasai eksekutif dan legislatif. Bagi kita, gerakan transnasional ini bertentangan dengan Konstitusi dan Kebhinekaan. Konstitusi menjamin setiap warga negara untuk bebas memeluk agama/keyakinan, bebas berekspresi, dan memberikan rasa aman-sejahtera tanpa memandang agama, suku atau golongan. Dan mengancam kebhinekaan karena bertujuan untuk menyeragamkan tata nilai (pergaulan) hidup di bawah satu peraturan (syariat). Dengan kata lain, gerakan transnasional dapat membahayakan keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa. Ia mengancam kesejarahan kita yang tak terbantahkan: konsensus untuk bersatu menjadi satu negara merdeka di atas segala perbedaan yang ada.
Karenanya, pemerintah harus membuat formula yang tepat agar gerakan ini tidak semakin meluas. Pendekatan represif tidak akan cukup jika tidak dibarengi gerakan penyadaran di masyarakat. Diskusi atau dialog yang melibatkan lembaga agama, tokoh/aktivis agama, dan umat harus dijadikan agenda rutin. Cara ini lebih ampuh untuk menangkal indoktrinasi kaum fundamentalis.
Persoalan mendasar kedua adalah pemberantasan korupsi. Janji Jokowi untuk menambah anggaran dan staf KPK harus cepat direalisasikan. Kemudian, menjamin kewenangan KPK tidak dipangkas melalui perubahan regulasi (UU KPK, KUHAP) yang telah berulangkali diinisiasi anggota DPR. Persoalan korupsi menjadi amat penting karena ia sebagai extra ordinary crime berdampak luas dan masif. Korupsi adalah penyebab utama kemiskinan. Anggaran yang seharusnya digunakan untuk pembangunan kesejahteraan, kesehatan, pendidikan, dikorup elite politik untuk kepentingan diri dan kelompoknya.Bahkan seorang koruptor jauh lebih berbahaya dibandingkan seorang pelacur. Koruptor tidak hanya berdosa kepada Tuhan, tapi juga terhadap rakyat. Selain memperkuat KPK, pemerintahan Jokowi-JK juga harus berani mencegah dan memberantas korupsi dari lingkungan terdekatnya. Dimulai dari lingkaran istana, kabinet, dan parpol pendukungnya.Pemberantasan korupsi akan jauh lebih efektif jika dimulai dari pusat-pusat kekuasaan.
Menjadi oposisi
Terpilihnya Jokowi sebagai presiden memang menumbuhkan asa baru. Kinerjanya di Solo dan Jakarta dinilai positif. Kebijakan dan blusukannya mendapatkan atensi luas dari masyarakat. Tapi menjadi seorang Presiden tentunya mempunyai skala tantangan yang berbeda. Terutama dari elite politik, baik yang berasal dari koalisi pendukungnya maupun dari kelompok parpol (oposisi). Disinilah pertarungan sesungguhnya. Mampukah ia bekerja sesuai amanat Konstitusi atau justru berkompromi dengan agenda-agenda terselubung elite parpol.
Dalam situasi seperti inilah, check and balance sebagai keharusan dalam demokrasi memiliki peranan penting. Tiadanya hal ini dapat melahirkan rezim otoritarian. Karena itu, pemerintahan Jokowi-Jk harus dikawal sejak dini. Tidak hanya oleh para relawan, tapi oleh seluruh komponen masyarakat seperti media, aktivis/NGO, pranata pendidikan, dan lembaga keumatan. Apa yang dikawal? Ialah kebijakan pemerintah sebagai eksekusi dari visi-misi dan program kerja. Indikatornya adalah kebijakan itu harus bernafaskan amanat Konstitusi. Kita harus berani menolak kebijakan yang hanya menyusahkan rakyat. Demikian pula sebaliknya, mendukung kebijakan yang sejalan dengan Konstitusi.
Menjadi oposisi bukan barang tabu atau diharamkan. Demokrasi menggaransinya. Hanya saja, sikap oposisi yang dibangun berdasarkan kepentingan obyektif bukan kepentingan politik pragmatis. Maka, oposisi yang dibangun oleh masyarakat sipil berbeda dengan oposisi oleh partai. Yang pertama murni dilandasi semangat demokratisasi yang sudah dirintis pasca rezim Soeharto. Sedangkan yang kedua lebih didasari kepentingan pragmatis. Karena itu, meskipun sama-sama beroposisi kepada pemerintah, bisa jadi pada suatu waktu mengambil kebijakan yang tidak sama.
Akhir kata, rakyat telah memberikan kesempatan kepada Jokowi-JK untuk membawa Indonesia lebih baik dari pemerintahan sebelumnya. Dan sekarang giliran mereka untuk mengemban amanat ini dengan sebaik-baiknya. Semoga.

[Hangat-News]

0 komentar:

Posting Komentar