Hi quest ,  welcome  |  sign in  |  registered now  |  need help ?
Iklan
Kunjungi Sponsor Kami
Terimakasih
Semoga Artikel Bisa Bermanfaat
[x]

Legal Dan Ilegal Prostitusi Terselubung Di Indonesia

Written By admin on Rabu, 28 Desember 2011 | 22.30


Praktik-praktik prostitusi dan pergundikan di daerah pedesaan di Jawa sudah terjadi pada era kolonial Belanda, terutama sejak dibuka jalan Daendels (1808) dan jalur kereta api uap (1883). Seiring dengan itu, aktivitas ekonomi di Jawa pun semakin dinamis. Banyak kaum perempuan setengah baya dan tua yang merespons jalur transportasi itu dengan berbagai kegiatan ekonomi.

Perkembangan jalur kereta api dan pembukaan jalur Daendels ini menciptakan formasi baru kebijakan kolonial yang sebelumnya didominasi oleh masyarakat kota sebagai pelaku utama. Pada perkembangannya, masyarakat pedesaan mulai terintegrasi dalam kegiatan ekonomi kota.

Pada masa krisis 1930-an, banyak buruh perempuan industri tenun, furnitur, dan keramik yang diberhentikan. Namun, bersamaan dengan itu, banyak bermunculan warung dan pasar desa yang merespons pembangunan infrastruktur di sepanjang pantai utara Jawa. Krisis tersebut membuat banyak petani dari pedesaan yang kering, seperti Grobogan, Jepara, Pati, Juwana, dan Demak, melancong dan mengembara mencari pekerjaan.

“Pada mulanya kaum lelaki saja, tetapi kemudian diikuti perempuan dan anak-anak. Hiburan para pengembara ini biasanya minum candu, berjudi, dan ronggeng yang menggairahkan,” kata sejarawan dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, Arif Akhyat, seperti dilansir laman UGM.

Arif menjelaskan para pemain ronggeng, ledhek, dan praktik pergundikan diduga bermunculan bersamaan dengan involusi ekonomi pertanian dan timbulnya gejala urbanisasi akibat jaringan ekonomi desa-kota yang semakin intensif. Praktik-praktik itu dilakukan di sekitar perkebunan dan stasiun, seperti Stasiun Tawang (Semarang), Stasiun Beos (Stasiun Kota Jakarta), Stasiun Senin, dan Stasiun Kestalan (Balapan, Solo). Selain itu, di Batavia juga muncul beberapa tempat prostisusi, seperti di Bendungan Hilir, Bongkaran, Kali Malang, Kaligot, Gang Mangga, dan Petamburan, serta Gang Hamber.

Maraknya prostitusi ini, menurut Arif, menyebabkan merebaknya penyakit sipilis. Antara tahun 1902-1912, dilaporkan sekitar 6,5 persen orang Eropa, 5,47 persen pribumi, dan 13,11 persen orang Cina terjangkit penyakit spilis.
“Di tahun 1811, Yogyakarta merupakan kota pertama yang didirikan rumah sakit khusus untuk penyakit spilis oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Selanjutnya, sekolah kedokteran didirikan untuk menangani penyakit kelamin di Bandung dan kemudian disusul Batavia (Jakarta),” kata Arif.

Arif menuturkan pelaku prostitusi biasanya digolongkan menjadi tiga kelas, terdiri atas kelas atas, menengah, dan bawah. Kelas atas pelakunya biasanya Indo, Eropa. Kelas menengah biasanya orang Cina dan Jepang, sedangkan kelas bawah biasanya orang Melayu atau Jawa. “Pada tahun 1939, dilaporkan bahwa tarif kelas atas adalah 2,50 gulden, kelas menengah 1-2 gulden, dan kelas bawah hanya 1 gulden."

Dikatakan Arif, sampai pada masa sebelum kemerdekaan, masyarakat Indies yang menjadi bukti perilaku pergundikan di zaman Belanda masih banyak ditemukan di Semarang, Batavia, dan Surabaya. Ditandai dengan banyaknya praktik poligami yang sangat populer pada tahun 1920, sedikitnya 1,4 persen dari total penduduk DIY melakukan praktik poligami, Jawa Timur sebesar 1,6 persen, Jawa Tengah 2,3 persen, dan Jawa Barat 1,8 persen.

[Hangat-News]

0 komentar:

Posting Komentar