Nuansa Ramadhan di Berbagai Belahan Dunia
Written By admin on Jumat, 05 Agustus 2011 | 09.20
Suasana menjelang buka puasa di sebuah masjid di Pakistan (dok.ist)
SEHARI sebelum Ramadhan, masyarakat Jawa menyelenggarakan padusan.
Tak sedikit muda-mudi yang mengunjungi tempat wisata air terjun atau telaga pada hari itu untuk pelesir sembari melakukan ritual padusan, yang sebenarnya ”hanya” mandi keramas.
Sekadar informasi, padusan berasal dari kata Jawa adus (mandi).
Sebelum padusan, sebagian masyarakat menjalankan nyadran atau nyekar, mengunjungi makam leluhur.
Nyadran dimaksudkan mengenang dan memberi perhatian pada mereka yang pernah ada untuk kita yang masih hidup.
Itu baru satu dari sekian banyak tradisi di Indonesia. Bagaimana dengan tradisi Ramadhan di negara lain?
Bintang menghimpun beberapa informasinya untuk Anda.
SUDAN: MANIFESTASI JUMAT TERAKHIR
Masjid Farou yang direhab Muhammad Ali Fasya pada 1940 saksi luapan iman umat Islam di Sudan. Masjid seluas 5000 m2 itu dijejali sekitar 1.000 hamba Tuhan. Ingar-bingar juga terasa di Pasar Ghirfa.
Di pengujung bulan suci umat Islam tumpah-ruah berbelanja menjelang kemenangan besar.
Tradisi khas masyarakat Muslim Sudan, buka bersama di tempat terbuka. Seseorang mengundang kerabat dan tetangga untuk menikmati santapan buka puasa di halaman rumah dalam suasana senja yang sejuk.
Uniknya, Muslim Sudan menjadikan hari Jumat terakhir Ramadhan sebagai puncak manifestasi persatuan umat Islam. Mereka memenuhi masjid-masjid. Gempita berlanjut hingga Hari Kemenangan. Pintu-pintu rumah terbuka pertanda menyambut para tamu. Di setiap ruang tamu rumah penduduk disediakan kasur-kasur berhias warna-warni sebagai peristirahatan para tamu.
MAROKO: HUNDRED DOLLAR LAILATUL QADAR
Bila adzan maghrib berkumandang, masyarakat Maroko hanya menyantap beberapa buah kurma dan segelas air putih. Lalu mereka sholat berjamaah di masjid. Nah, sehabis shalat mereka kembali bersantap, menunya harirah (hidangan khas Maroko dengan bumbu dasar rempah), aneka manisan, dan camilan.
Yang tak kalah heboh tentu malam Lailatul Qadar. Di sana kegembiraan menyambut malam seribu bulan bak menyambut tamu agung. Cowok dan cewek mengenakan jalabah (busana muslim tradisional Maroko, sejenis jubah atau gamis dengan penutup kepala).
Tingkat modifikasi jalabah berbanding lurus dengan harga yang bisa mencapai ratusan dollar Amerika. Jalabah biasanya dikenakan pada tanggal-tanggal ganjil akhir bulan (25, 27, dan 29 Ramadhan) untuk wara-wiri dari masjid ke masjid. Momen ini dimanfaatkan banyak fotografer untuk mencari rezeki. Tak sedikit pengguna jalabah ingin diabadikan dengan kilatan kamera.
JERMAN: BEREKSPRESI DENGAN VARIASI
Bagaimana dengan Eropa? Benua yang wilayahnya sempat dilanda fobia Islam itu punya gaya lain dalam menghormati bulan suci. Diekspresikan dalam bentuk penolakan terhadap makanan, minuman, rokok, dan kontak seksual sejak matahari terbit hingga terbenam.
Yang tak kalah seru, pemilik Arabic shops mencium sisi komersial. Mereka berekspresi dengan mengimpor makanan favorit dengan variasi yang mungkin membuat kepala konsumen pusing. Ada suus (minuman berbahan baku gula hitam), dschellab (gula dan sirup kurma), qamruddin (yang ini jus aprikot).
Tradisi penuh variasi ini melebar hingga ke toko roti. Mereka menjajakan qata'ef (kue kering yang direndam sirup gula), dan kalladsch (adonan pilo isi kacang-kacangan). Variasi kudapan ini menjadi tradisi yang selalu dinanti umat Islam di Jerman dan beberapa negara Eropa sekitarnya.
MESIR: TRADISI TUA BERJIWA MUDA
Selain mendekat pada Sang Khalik, Ramadhan dinilai sebagai saat yang tepat untuk menghargai tradisi dan ajang social gathering hingga larut malam. Kairo menjadi kota penuh doa dan puasa.
Masyarakat Mesir menghabiskan malam dengan bergaul dan menikmati sahur sebelum fajar. Hidangan yang paling dinanti makanan pencuci mulut kunafa yang terkenal manis.
Yang paling mencolok, banyak umat Muslim berlomba-lomba mencari pahala dengan mendirikan tempat buka puasa gratis, Maidaturrahman (artinya, suguhan dari Allah yang Maha Penyayang).
Tradisi lainnya, masyarakat menghabiskan sebagian waktu mereka dengan menyaksikan miniseri spesial Ramadhan di televisi. Wah enggak jauh beda dengan orang Indonesia, ya?
CHINA: MAKIN LANGKA, MAKIN MARGINAL
Joshua Kucera, seorang penjelajah, berkunjung ke Negeri Tirai Bambu tepat di hari pertama bulan puasa. Ia menggambarkan Kashgar sebagai kawasan di China yang banyak penduduk muslimnya. Maklum, Kashgar dekat perbatasan Turki. Di kota ini, berdiri Masjid Id Kah yang dibangun sekitar 1442.
Dulu, di depan masjid ada kebun bunga dan semacam plaza yang menjual makanan khas (yang rasanya cocok juga) untuk menemani berbuka puasa. Namun karena kebijakan “renovasi” pemerintah setempat, bangunan itu “disulap” menjadi semacam bioskop pemutar film-film kung fu saban malam.
Tradisi muqam, seni nyanyian diselingi sedikit tarian, umat Muslim Kashgar pun semakin ditinggalkan dan termaginalkan keadaan dan zaman. Apalagi kini banyak penduduk China yang tertarik juga bermukim di Kasghar. Selama bulan puasa, tak ada stasiun televisi yang memutar drama seri spesial Ramadhan. Kumandang adzan saja nyaris tak terdengar.
Tradisi yang tersisa, umat Muslim Kashgar lebih senang menikmati kudapan buatan sesama Muslim ketimbang masakan China. Begitulah suasana Ramadhan di Kasghar, sepi tapi khusuk.
[Hangat-News]
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar