Merenungi Kembali Esensi Perayaan Idul Fitri, Bermaaf-maafan, Jangan Menunggu Lebaran
Written By admin on Rabu, 31 Agustus 2011 | 10.48
LEBARAN. Apa yang tebersit dalam benak mendengar kata itu? Kebanyakan orang menyebutnya sebagai momen pulang kampung, silaturahim, dan bermaafan dengan orangtua, keluarga, sanak saudara, dan teman-teman.
Sebagian lainnya memerinci hal-hal yang sepatutnya mengiringi perayaan Lebaran. Seperti kue-kue, baju baru, atau ketupat dan opor ayam. Sisanya mengidentikkan lebaran dengan situasi jalur mudik yang macet gila-gilaan.
“Semua keriuhan itu menjadi satu bentuk sukacita yang begitu luar biasa khususnya bagi masyarakat Indonesia,” ungkap Anggia Chrisanti Wiranto, konselor dan terapis EFT (emotional freedom technique) di biro psikologi Westaria (www.westaria.com).
“Ya, karena faktanya, perayaan Lebaran atau Idul Fitri di setiap negara ternyata berbeda. Di Indonesia, sayangnya, lebih banyak perayaan yang bersifat tradisi dibanding yang hakiki,” imbuhnya.
Apalagi masyarakat Indonesia terkenal dengan sifat kekeluargaan dan juga nuansa kedaerahan yang kental. Tinggal di negara yang sama pun, di Indonesia, masing-masing punya tradisi perayaan Lebaran sendiri.
Lantas di mana letak salah persepsinya? Ada baiknya kita memahami lebih dulu esensi perayaan Idul Fitri. Selama ini, silaturahim di kala Lebaran, dengan seluruh pengorbanan materi, fisik, dan segalanya, ditujukan untuk meraih momen bermaaf-maafan. Tenyata itu salah.
“Ternyata, seharusnya 'kewajiban' untuk saling bermaafan itu bukan di hari Lebaran. Melainkan ketika sebelum memasuki bulan suci Ramadan,” ujar Anggia.
Dalam analoginya, bulan Ramadan adalah medan perang yang mana, jika kita mampu menyelesaikan dengan baik – bukan sekadar menahan lapar dan dahaga – maka hadiahnya adalah menjadi suci kembali (Idul Fitri) atau juga disebut sebagai hari kemenangan. Menang dalam medan pertempuran.
“Ketika sudah menang dan dinyatakan suci kembali, lalu untuk apa bermaaf-maafan lagi?” tukasnya.
Asumsinya, suci dan bersih juga dari dosa dan salah. Karena itulah, saling bermaafan yang selama ini (dilakukan kebanyakan orang) dilakukan di Hari Lebaran, seharusnya dilakukan sebelum memasuki Ramadan.
“Jadi saat Lebaran tiba, itulah momen di mana kita merayakan kemenangan. Bukan lagi berfokus pada tujuan saling bermaafan,” terang Anggia.
Tapi agak sulit untuk saling bermaafan sebelum memasuki Ramadan. Entah karena feel-nya belum dapat atau kendala teknis. Seperti diketahui, tidak ada hari libur sebelum Ramadan. Untuk mereka yang terpisah jauh dengan orangtua dan kerabat, hanya bisa melakukan bermaafan melalui perantara, dengan bantuan teknologi seperti telepon atau SMS, dan lainnya.
“Untuk saat ini tidak apalah bermaafan sebelum Ramadan melalui perantara dulu. Nanti ketika Lebaran (libur nasional/cuti bersama) tiba, tinggal kita bersilaturahim dan memperpanjang tali kasih sayang,” pungkas Anggia.
Nah, bagi yang bermaaf-maafannya menunggu Hari Lebaran, dan itu pun sekadar formalitas, harus sangat dipertanyakan, pantaskah Anda mencapai hari kemenangan dan suci kembali? Ayo, lakukan sekarang juga mumpung masih ada waktu satu minggu lagi.
[hangat-news]
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar