Ini malam kesekianku. Tak terhitung, berapa lelaki kulayani. Aku juga tak niat menghitung-hitung. Itu hanya menambah borok di mataku. Itu hanya menghujam membunuhku, tanpa mati di ujungnya….
Mati yang kudambakan….
Hidup ini sulit. Yang terpapar hanyalah pilihan-pilihan berbau busuk. Kalau aku dulu menolak tawaran lelaki itu, mungkin, cuma mungkin, aku takkan seperti ini. Tapi seperti kubilang, pilihan di depanku berbau busuk. Semuanya. Jika saja aku tidak tidur dengan bandot berkantong tebal itu waktu itu, ibu dan adikku saat itu akan langsung masuk akhirat dengan amat menderita. Uangnya kuperlu untuk mengobati kencing manis Ibu. Biarpun tetap sakit, karena kata orang kencing manis tidak bisa sembuh, dan kemudian meninggal juga, tapi matinya tidak semendadak kalau tidak diobati. Juga tidak begitu menderita, tidak seperti waktu itu. Sedangkan adikku, adik lelakiku satu-satunya, saat itu masih kecil. Kena demam berdarah. Untung tertolong. Ya itu, karena uang si tua yang memerawaniku. Tapi kenapa aku bilang itu untung? Tidak, bukan karena aku menyesal telah menjual diri! Tidak! Sudah lama sesalku menghilang. Aku sudah lupa di mana dan kapan hilangnya. Dan aku tidak kepingin mencarinya lagi. Tidak! Yang buatku tidak enak bilang “untung” adalah soal adikku, menjadi apa dia setelah itu. Nanti saja kuceritakan.
Pernah kucoba lari dari pekerjaan ini. Memang berhasil. Untuk sementara. Mungkin karena aku tidak punya germo, jadi bebas berhenti dan turun ke jalan lagi kapan saja. Dan aku memang pernah berhenti. Waktu itu. Entah berapa tahun lalu itu. Entah setelah berapa tahun aku menjual kewanitaanku itu. Lalu, ada lelaki yang mau menikahiku. Bukan pelanggan. Malah dia tidak tahu aku ini sebelumnya pelacur. Dia baik sebelum kami mengikat janji. Bahkan sangat alim. Ilmu agamanya kuat. Ilmu pengetahuannya juga kuat. Dan yang kukagum, imannya pun kuat. Pernah kugoda dia sebelum menikah untuk tidur denganku. Dengan tegas, aku ditolaknya mentah-mentah. Dosa melakukan itu sebelum resmi jadi suami-isteri, katanya benar-benar tandas. Gamblangnya ucapannya itu malah sempat membuatku agak takut. Tapi kembali, senyumnya meruntuhkanku. Bukan karena ia tampan. Malahan sebenarnya dia di bawah rata-rata. Bibirnya tebal dan lebar. Hidungnya seperti tidak punya batang, dengan dua lubang yang besar-besar. Giginya sebesar biji salak, menyombongkan diri ke depan pula. Kacamatanya minus tujuh. Rambutnya pitak di sana-sini, sudah tipis sekali dan banyak ubannya lagi, meskipun usianya masih sangat muda. Pokoknya, bukan fisiknya yang buatku luluh. Tapi sikap lembutnya. Sebelumnya, lelaki lembut padaku hanya karena ada maunya, karena ingin menikmati seluruh pelosok badanku. Tapi yang ini tidak. Makanya, aku mau menikah dengannya. Tapi, aku tidak tega pada orang sebaik itu. Tidak tega menyakitinya dengan memberitahu apa pekerjaanku sebelum kenal dia. Maka itu, tetap kurahasiakan. Bahkan sampai sekarang dia tidak tahu. Kemudian kami pun naik pelaminan. Dan aku begitu yakin, “itu”nya sekuat ilmu dan imannya. Luar biasa! Ternyata, aku kecele betul-betul! Dia loyo! Loyo sekali! Memang, dia bisa memasukiku, tapi aku merasa seperti tidak diapa-apakan! Sudah begitu, berlangsungnya pun hanya satu-dua menit. Dan yang lebih parah, itu dilakukannya tidak sampai seminggu sekali. Tapi ya sudah, aku mencoba menelan kecewa. Aku bukan pecandu seks. Orang bilang, kalau sudah biasa, apalagi jadi penjaja cinta, maka perempuan bakal ketagihan, suka kebelet kalau lama tidak disentuh. Tapi aku tidak. Biasa saja. Dengan suamiku, aku kecewa bukan karena hasratku menggebu lalu tidak terpuaskan. Tapi karena aku merasa tidak terlindungi. Lelaki yang bisa melindungi wanita itu harus kuat. Dalam segalanya. Kalau intisari kelelakiannya saja sudah tidak kuat, bagaimana aku bisa merasa aman dan tenteram? Bagaimana aku bisa mengandalkan perlindungannya? Tapi, ya sudahlah! Hari-hari kujalani saja….
Dan hari-hari begitu kejam padaku! Sebab mereka memperlihatkan padaku sesuatu yang mengerikan dan mengoyak-ngoyakku. Suatu hari, aku mendadak kangen pada teman-temanku. Kutelepon mereka. Semua datang, memberi selamat padaku dan suamiku. Mereka semua teman seprofesiku. Ada yang seperti aku, sudah berhenti, dan juga bersuami, tapi ada pula yang masih “jalan”. Setelah pertemuan itu, aku dan suamiku masih sering bertemu dengan mereka. Entah mereka yang datang, entah kami yang mengunjungi mereka. Tapi mengapa semua yang kulakukan harus saja salah?! Suatu hari, sepulangku dari pasar, aku heran, tidak biasanya rumah ditutup pintu dan jendelanya. Suamiku tiap hari ada di rumah, karena dia bisa dibilang setengah menganggur. Hanya sesekali saja, kalau ada yang mau belajar mengaji, atau ada yang mau les pelajaran, dia baru ada pekerjaan dan dapat uang. Selebihnya, untuk hidup sehari-hari, dia benar-benar mengandalkanku, yang saat itu sudah bisa punya los di pasar hasil dari tabunganku selama beberapa tahun menemani tidur para lelaki. Lumayan, jual pernak-pernik dan barang kerajinan. Jadi, siang sudah tutup karena pasar tutup jam 2 siang. Dan siang itu, aku benar-benar celaka! Kubuka pintu. Rumah hening. Tapi sesaat kemudian, terdengar lenguhan pelan. Aku tak bergerak. Kembali terdengar lenguhan, kali ini agak keras. Seperti kukenal suara lenguhan perempuan itu. Mendadak, kudengar juga dengusan berat lelaki. Semua suara itu buatku takut. Semua datang dari kamarku. Tapi aku harus tahu. Ini rumahku! Lalu, secepat kilat, kupentangkan pintu kamar. Dan mataku nyaris terlepas dari pelupuknya! Lelaki yang menjadi suamiku! Dia menindih temanku sendiri! Teman yang kukenalkan dalam acara kangen-kangenan itu! Teman yang juga sudah punya suami! Andai dia itu masih jadi pelacur, aku hanya akan murka, tapi hatiku takkan remuk. Tapi ini?! Suami yang rajin sholat, jago mengaji, khatam kitab suci, tak alpa puasa, malah sering bersedekah meski uangnya dari aku…! Suami yang tidak mampu tegang penuh kalau bersenggama denganku, yang tidak pernah tahan lama, yang jarang menyentuhku pula…! Kini dia malah menyetubuhi temanku dengan nikmatnya, salah satu temanku yang paling akrab dulunya malah…! Temanku yang punya keadaan ekonomi jauh lebih baik sekarang karena mendapat suami yang punya jabatan…! Temanku yang sering menasihatiku untuk lebih dekat pada Tuhan dan menjadi muslimah yang sholihah…! Temanku yang aktif di pengajian dan sekarang memakai jilbab…!
Kesenangan demi kesenangan begitu dekat denganku. Tapi kenapa aku tidak bisa menikmatinya? Sama sekali! Alkohol menjanjikan jalan keluar dari penat. Ganja merayuku dengan janji meringankan bebanku. Putaw dan shabu malah lebih hebat. Mereka berani menjanjikanku surga!…
Surga…. Surga!!! Persetan dengan surga! Persetan dengan neraka! Kalau surga memang ada, aku pantas menikmatinya sekarang! Kurang menderita apa aku?! Kurang bukti apa yang kupunya, kalau surga tidak mampu menghapus kemaksiatan! Apa suami dan temanku itu masih kurang? Kalau benar surga ada, buktikan! Binasakan semua yang menyakitiku! Bawa aku sekarang ke puncak kebahagiaan! Aku memerlukannya! Sekarang!! Nah, neraka?! Tidak perlu mengancamku! Hidupku sekarang jauh lebih sengsara dan celaka ketimbang engkau, neraka! Tidak usah mengacung-acungkan tinjumu supaya aku berhenti dari jalan hidupku! Kalau engkau, surga, mau aku berhenti, karena menurutmu apa yang kukerjakan ini najis, beri aku sesuatu yang menurutmu mulia! Beritahu aku, apa pekerjaan mulia yang bisa membuatku hidup mulia dan layak pula! Aku tidak butuh muluk-muluk! Asal aku bisa makan, punya pakaian, dan tempat tinggal sederhana saja sudah cukup. Aku tidak butuh kemewahan. Aku tidak pernah suka kemewahan. Tapi untuk memberikan itu saja kau tidak bisa ‘kan, wahai surga yang, katanya, hebat dan megah?! Dan kalau engkau, neraka, begitu mengerikannya, mengapa engkau mengancamku agar aku terhindar darimu tapi pada saat yang sama juga sekaligus membujukku untuk bergabung denganmu?! Jalani saja tugasmu! Biarkan aku menjalankan hidupku ini!
Ya, hidupku ini…! Hidup macam apa ini?!! Hidup tanpa hati! Untuk merengkuh kenikmatan saja tidak bisa! Semua kesenangan duniawi hanya kulihat dengan mataku saja, tapi tidak bisa kumiliki! Aku tidak getir. Aku sudah tidak bisa lagi getir. ‘Kan sudah kubilang, aku sudah tanpa hati! Dan aku merasa seperti robot, atau patung, yang digoyang-goyang kaum lelaki untuk kesenangannya, yang dikejar-kejar dan disewenang-wenangi para aparat untuk mengisi kocek mereka, yang direndahkan sangat oleh masyarakat yang sok terhormat padahal kelakuan mereka lebih bejad karena memangsa sesama mereka, sementara aku, tidak ada yang kumangsa.
Dan yang diburu-buru terus oleh Tuhan, entah apa yang Dia mau…!
Segala cara dilakukan-Nya untuk menemuiku. Salah satunya, dengan memakai adikku. Ya, adikku. Sekarang aku akan bercerita tentangnya. Dia yang sudah lama tak kujumpai, karena belajar di pesantren di luar kota. Aku malas menemuinya. Bukan karena malu. Aku tidak ada lagi malu pada diriku dan pekerjaanku. Aku hanya tidak suka diceramahi. Dan dia pasti mau menceramahiku. Tapi aku kaget. Yang dia lakukan setelah berhasil juga menemuiku adalah mengajakku buka puasa bersama di rumahnya bersama isteri dan anak-anaknya. Aku menolak. Dia mendesak. Aku tetap menolak. Dia tersenyum. Tidak lagi berusaha mengajak. Hanya sebuah kartu nama berisi alamat ia serahkan. Supaya kalau aku berubah pikiran, mau mengunjungi adik, ipar, dan para keponakanku, aku tahu alamatnya. Setelah itu, dia pergi. Kangenku pada satu-satunya orang yang kupunya mengalahkanku. Setelah Ibu tiada, dan suamiku lari terbirit-birit dengan temanku itu, kemudian hanya mengirimkan surat cerai, datang ke rumah dengan diam-diam, mencuri seluruh uang simpananku, beberapa hari kemudian dengan kejamnya membakar losku di pasar yang mengakibatkan kebakaran hebat di seluruh pasar, dan yang tidak pernah kutemui lagi sejak kupergoki dia berbugil dengan perempuan munafik itu, praktis tidak ada orang yang kumiliki. Anak aku tak punya. Sanak tak mau mengakuiku. Seandainya mau pun, mereka jauh di seberang pulau sana. Jadi dia, adikku, yang masih tersisa dari diriku. Jadi, aku kalah. Aku jadinya datang juga ke sana, ke rumah adikku. Rumah yang besar dan bagus. Aku mendadak kehilangan keberanian. Tapi tahu-tahu gerbang pagarnya terbuka. Dia keluar. Seorang wanita cantik mendampinginya. Dua anak perempuan yang lucu-lucu berhamburan. Semua menyambutku. Semua dengan senyum lebar hangat. Aku mendadak jadi kecil…. Aku mendadak merasa tersayat…. Aku tiba-tiba punya hati lagi! Adikku memelukku erat. Iparku memeluk dan menciumku, dan membasahi pipi-pipiku dengan air matanya. Para keponakanku menyalami dan mencium tanganku dengan sopan, dan mereka kelihatan sungguh-sungguh senang punya uwak. Aku dibawa mereka masuk. Pas waktu magrib, kami pun makan. Aku rikuh sekali. Semuanya berpuasa, termasuk anak-anak. Aku tidak. Bahkan aku sudah tidak tahu apakah aku masih Islam atau tidak. Tapi tidak ada di antara mereka yang ada di rumah itu yang menanyakan apakah aku puasa atau tidak. Semua tampak berjalan wajar sekali. Usai makan, anak-anak bermain dulu sebelum mereka sholat tarawih. Adik dan iparku membawaku ke taman belakang. Kami mengobrol ngalor-ngidul. Tapi aku tidak tahan. Lantang kuutarakan ketidaknyamanku. Sekali lagi, bukan karena aku malu. Tapi karena mendadak saja aku merasa hina, merasa kotor, merasa tak pantas berada bersama mereka! Sungguh, ini pertama kalinya kurasakan setelah entah berapa tahun! Kuungkap semua kisah hidupku. Tidak ada satu pun yang menyela selagi aku menyerocos. Keduanya memandangku. Tapi bukan dengan rasa kasihan. Aku tidak tahu apa itu. Tapi itu menghangatkan. Dan kehangatan yang sampai di dadaku itu membuatku makin risih. Aku berbicara lebih ketus dan keras lagi. Aku tidak membenci mereka. Malah, kalau mau dimasukkan kategori, aku malah jatuh hati dan sayang pada mereka semua! Pertama kalinya dalam hidupku! Karena aku dulu tidak pernah mencintai suamiku. Dengan dia, aku hanya mencari lelaki untuk tempat bernaung, walau orang yang diandalkan itu bukannya menaungi tapi malah menikamku dari belakang dan dari samping. Tapi sekarang, di hadapan orang-orang yang kucintai ini, kumuntahkan racunku, semua! Setelah aku selesai dengan terengah-engah, kudengar lirih suara adikku. Katanya, dia dan isterinya sudah tahu semua tentangku. Mereka sudah lama mencari informasi tentang keberadaanku. Mereka ingin aku menjadi bagian mereka dan mereka menjadi bagian diriku. Kesuksesan adikku dan juga iparku sebagai ustadz dan ustadzah penceramah dan pengajar agama di berbagai tempat, bahkan di TV-TV juga sering sekali muncul, ingin dibagikannya denganku. Bukan karena menganggap aku tidak mampu, tapi karena mereka sudah merasa terikat batin denganku. Dan jujur, aku pun saat itu sudah terikat erat dengan batin mereka.
Tapi aku sendiri heran, mengapa aku tiba-tiba merasa luar biasa muak?! Aku betul-betul muak! Entah apa sebabnya! Tahu-tahu aku marah pada mereka, aku kata-katai mereka, yang kata-katanya sendiri sudah tidak kuingat lagi apa, lalu aku lari, keluar dari rumah itu….
Sekarang, ya Tuhan, setelah begitu lama, aku mau bicara pada-Mu. Mengapa Kaumanfaatkan adikku juga? Mengapa Kaubujuk aku dengan cinta kasih yang begitu besar sehingga aku luluh dan kembali punya hati? Aku mencintai-Mu, Tuhan! Sekarang aku tahu apa itu cinta pada-Mu, ya Allah!
Tapi aku membenci-Mu! Aku tidak suka pada-Mu! Engkau begitu terang! Waktu Kau tak ada, aku oke-oke saja. Tapi sekarang, saat Kau datang, sinar-Mu memperlihatkan kalau aku ini begitu kotor. Sinar-Mu yang Kautitipkan pada diri dan kehangatan adik dan iparku, membuatku tak percaya kalau nodaku begitu tebal dan menyelimut. Aku benci pada-Mu, ya Allah! Aku benci merasa kotor! Aku benci terhina! Aku benci telah berdosa! Aku benci pada diriku!
Aku benci pada-Mu, Allah! Tapi betapa aku mencintai-Mu juga! Aku tak pandai merangkai kata, jadi tak mungkin bisa mengungkapkan dengan kata-kata betapa manis dan indahnya cinta-Mu padaku, yang kemudian memantul kembali menjadi cintaku juga pada-Mu.
Aku ingin Kau menjauh, pergi, dan jangan kembali-kembali lagi, Allah! Aku ingin Kau tetap di sini, peluk aku, dekap aku, jangan lepaskan aku lagi, Kekasihku!
Aku sudah gila, ya Allah! Gila karena cinta-Mu! Gila akan kehadiran Diri-Mu, ya Tuhan… Tuhanku!… Oh, untuk pertama kali, aku menyebut kata itu… Tuhan…ku…!! Aku?! Pelacur ini?! Sekarang punya Tuhan?! Engkau yang menjadikan Diri-Mu sendiri Tuhan bagiku. Engkau juga yang mengaku-ngakui aku sebagai umat-Mu, hamba-Mu. Tidak pantas itu, Tuhan! Tidak layak bagi-Mu memanggilku hamba-Mu, umat-Mu!
Oh, Allah, jangan berhenti! Kumohon! Bermukimlah selalu di hatiku! Biarkan aku diam di hati-Mu, ya Allah! Biarlah itu dimulai saat ini juga, tengah malam ini juga, di sini, di kamar maksiatku, dengan suara najis yang keluar dari hati yang najis melalui bibir yang najis juga!
Bersihkan aku! Sucikan aku! Aku ingat, sekarang ini Ramadan, bulan suci-Mu, bukan? Jadikan Ramadan-Mu kali ini sebagai alat-Mu membersihkan aku seluruhnya dari dosa-dosaku, ya Allah! Bersihkan hatiku, bersihkan tanganku, bersihkan alat kelaminku, bersihkan seluruh tubuh dan jiwaku ini! Aku mau bertobat, aku mau keluar dari dunia gelapku. Sekarang juga, aku akan keluar dari kamar dan rumah ini! Sambutlah aku, wahai Tuhan pengampun! Tuntunlah aku di jalan-Mu, dan jangan lepaskan lagi!
Ya! Sekarang sudah tidak lagi aku membenci-Mu! Engkau sudah menyentuh aku! Engkau sudah mengampuniku!
Tidak ada keindahan seperti ini! Surga takkan seindah ini…. Sebab, surga takkan indah tanpa-Mu! Dan aku…. Dengan-Mu, aku sekarang mengenal apa itu kepuasan. Malam-malam kelamku dengan para lelaki yang bermain dosa denganku tidak pernah membuatku puas. Malahan, dari lahir pun aku tak pernah tahu rasanya puas itu bagaimana. Malam inilah pertama kali aku puas. Malam ini, Engkau memuaskan aku. Malamku yang sekarang ini seolah tidak gelap…. Aku seolah dimandikan ribuan bahkan jutaan sinar rembulan-rembulan-Mu…!
[Hangat-News]
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar