Hi quest ,  welcome  |  sign in  |  registered now  |  need help ?
Iklan
Kunjungi Sponsor Kami
Terimakasih
Semoga Artikel Bisa Bermanfaat
[x]

Xia Aimei, Kenapa Gagal Jadi Film Penting

Written By admin on Sabtu, 14 Januari 2012 | 08.15


FILM ini, Xia Aimei sebetulnya berpotensi jadi film penting negeri ini.

Melihat trailer-nya pertama kali, saya berharap besar ini akan jadi film penting yang mengangkat isu human trafficking (perdagangan manusia).

Dengan baik, trailer-nya memperlihatkan detil gambar seorang gadis dari China daratan yang dijual jadi wanita penghibur di Jakarta. Jika trailer diibaratkan sebuah undangan, sineasnya telah dengan baik membuat surat undangan.

Namun, nyatanya benar, don’t judge a movie by its trailer.

Isu perdagangan manusia adalah isu krusial yang jarang disentuh sineas tanah air. Sebab, ini bukan isu kacangan. Tidak ada hantu berwujud pocong, kuntilanak, dkk atau bintang porno yang diimpor untuk jenis film begini. Yang artinya pula, hanya sineas serius sekaligus punya idealisme tinggi yang rasanya tertarik mengangkat tema ini.

Karena temanya yang berat, yang berarti pula risiko tidak laku lebih besar, produser yang pedagang film tentu berpikir ulang membuat film bertema human trafficking.

Saat tahu masih ada produser yang mau keluar uang untuk mengangkat tema ini wajar jika saya berharap banyak. Bukankah ini jawaban bagi pecinta film Indonesia yang sudah bosan melihat pocong begini-pocong begitu di bioskop kita?

***

xia-posterTapi, sayang beribu sayang, filmnya malah gagal mengangkat isu human trafficking dengan baik. Filmnya gagal jadi film penting.

Syarat utama sebuah film layak disebut film penting adalah, ketika film tersebut tak lagi membuat kita, penontonnya, mencereweti urusan teknis. Segala unsur pembentuk film itu (cerita, skenario, penyutradaraan, akting, editing, mise-en-scene, dll) sudah sampai tahap baik, hingga kita bisa fokus pada tema yang ditawarkan filmnya.

Sekadar contoh, Gie (2005), May (2008), Sang Pencerah (2010), ? [Tanda Tanya] (2011), maupun Sang Penari (2011) layak disebut film penting negeri ini bukan saja lantaran masing-masing menyuguhkan tema yang besar bagi bangsa ini, namun juga pertama-tama karena filmnya bertutur dengan baik.

Maka dari itu, sebuah film penting punya pra-syarat mutlak: Jika kita masih mencereweti teknis filmnya, bagaimana kita bisa fokus pada tema yang disajikan.

Namun coba tengok Xia Aimei ini.

Bagian awal filmnya adalah juga bagian awal trailer-nya. Kita dikenalkan pada sosok Xia Aimei (Franda), seorang gadis lugu yang masih suka bermain di sawah sambil emut permen. Hidupnya berubah drastis kala ia harus diboyong sang paman menjadi tulang punggung keluarga, bekerja hingga jauh ke negeri orang.

Negeri itu Indonesia, tepatnya kehidupan malam Jakarta. Xia Aimei yang ketakutan dideretkan bersama perempuan lain dijadikan wanita penghibur klub eksklusif Le Mansion.

Dari sini kita diajak mendapati cacat teknis yang akut. Pertama, soal ruang. Film ini seolah abai atas logika ruang. Penonton tak pernah diberi penjelasan cukup sperti apa wujud Le Mansion. Jika klub ini dijaga ketat oleh bodyguard kekar-kekar dan dipantau kamera, kenapa pula Xia Aimei begitu mudah kabur, menyelinap masuk jeep milik AJ Park (Samuel Rizal), fotografer bawah air yang kebetulan harus ke Le Mansion menemani bosnya. (Saya ogah mengkritik lebih jauh soal namanya yang ke-Korea-Korea-an tapi logatnya bak anak gaul Jakarta, dikatakan punya darah Korea tapi tinggal di rumah bergaya Jepang, bekerja di perusahaan bernama Discovery Underworld International, “Underworld? Dunia kriminal? Dunia bawah tanah? Ah, mungkin maksudnya underwater.)

Film ini dengan seenaknya berpindah ruang tanpa memberi penjelasan pada penonton. Bukan hanya itu, kamera seolah malas bergerak memotret lanskap yang lebih luas, memperlihatkan keangkeran, sebuah kerangkeng bagi manusia-manusia yang terjual.

Beda sekali dengan saat kamera berada di China daratan yang sebentar itu. Meski gambarnya sedikit (mungkin sineasnya seperti hanya punya stok gambar sedikit hingga gambar yang sama diulang-ulang ataupun dipermak bergerak mundur), lanskap pedesaan China terpapar jelas.

Kedua, soal cerita. Saya bingung dengan maunya film ini. Filmnya mengisahkan seorang gadis yang terjual dan upayanya mempertahankan kegadisannya. Namun, saat diselamatkan seorang cowok ganteng, si gadis sekonyong-konyong jatuh cinta dan minta sebelum pulang ke China main-main ke pantai dulu. Maka, mood cerita pun berubah jadi film romantis. Kita melihat dua sejoli pacaran di pantai, ngobrol di dermaga kayu nan romantis.

Hello?! Kenapa nggak langsung pulang saja sih; atau hubungi Kedubes China, misalnya.

Ah, pasti filmnya jadi tak seru kalau sejak paspor si gadis China tertinggal, AJ Park langsung menghubungi Kedubes China. Tapi, menonton kebodohan demi kebodohan di layar sungguh menyiksa.

Belum lagi suguhan mengganggu dari sahabat AJ Park yang namanya tak mau saya ingat ataupun cari tahu lebih jauh. Dia mencoba melucu sampai kepalanya terantuk lampu gantung. Tapi saya tak tertawa. Kasihan dia. (Film ini juga punya Norman Kamaru. Ini debutnya di layar lebar. Tapi sayang, ia juga tak mencuri perhatian. Kasihan dia.)

xia-2Ketiga, stereotip yang dipelihara hingga ke sumsum tulang. Film ini masih terjebak pada penggambaran yang stereotip. Si baik, si jahat, si lugu. Kita, misalnya, melulu melihat Franda yang tertunduk dan ketakutan, seolah hanya begitu saja ekspresi aktingnya sebagai wanita terjual. Tengok pula Ferry Salim yang berdandan necis sebagai gembong penjahat pemilik klub, persis sinetron yang di dalam rumah pun setiap tokoh mesti kelihatan cantik dan menor. Aktingnya? Ah, lebih pas disebut over-acting.

Keempat, sineasnya, ah dari tadi saya belum sebut nama sutradaranya Alyndra (juga ikut menulis skenario, penata kamera, dan penata musik) lebih fokus pada style ketimbang bercerita dengan baik. Dia banyak bermain-main dengan gambar-gambar indah.

Memang sih indah. Tapi, film kan bukan hanya gambar indah. Filmnya juga banyak menggunakan unsur musik sebagai pengiring cerita. Kita mendengar lantunan lagu Mandarin yang diterjemahkan sebagai pengantar cerita dan gambar indahnya.

Namun, ada satu hal krusial yang luput oleh sineasnya. Film ini hanya menerjemahkan alias memberi subtitle bahasa ndonesia untuk dialog Mandarin saja. Untuk dialog berbahasa Inggris—yang juga kerap diucapkan tokoh-tokohnya—film ini tak menempatkan subtitle. Inilah bagi saya, pengakuan yang pertama kali dilakukan seorang sineas tanah air: menganggap penonton film Indonesia sudah pintar Inggris semua. Jadi, salah besar jika selama ini kita mengira sineas kita menganggap penonton film Indonesia bodoh-bodoh, toh buktinya dialog bahasa Inggris tak diberi subtitle.

***
Dengan semua cacat di atas, kita kembali ke awal tulisan ini: mengapa film ini gagal jadi film penting?

Buat saya, jawabnya adalah sikap mendua dari sineasnya. Entah siapa yang menyetir (karena saya tak tahu pasti sikap mendua ini datang dari produser atau sutradara) yang jelas film ini adalah hasil kompromistis yang buru-buru. Mereka ingin membuat film dengan isu berat (human trafficking) tapi tak mau filmnya jatuh jadi film yang terlampau serius (meski saya salah menebak akhir filmnya bakal membahagiakan. Eh, maaf spoiler). Alhasil, filmnya jadi serba tanggung dan dangkal. Humor yang garing, action seadanya, mesum seadanya, romantis pun ala kadarnya.

Alih-alih jadi film yang komplit, malah seperti masakan yang pakai banyak bahan tapi serba sedikit.

Untung saja Franda terlihat menggemaskan di sini. Itu saja mungkin yang membuat pria menonton filmnya, atau justru para pria tertipu melihat posternya.***

[Hangat-News]

0 komentar:

Posting Komentar