Hi quest ,  welcome  |  sign in  |  registered now  |  need help ?
Iklan
Kunjungi Sponsor Kami
Terimakasih
Semoga Artikel Bisa Bermanfaat
[x]

Sejarah Blambangan

Written By admin on Senin, 19 Desember 2011 | 19.02

Blambangan berasal dari kata “Bala” yang artinya adalah rakyat dan “Ombo” yang artinya besar atau banyak sehingga dapat diartikan bahwa Blambangan adalah suatu kerajaan yang rakyatnya sangat banyak. Karena berhasilnya kerajaan Majapahit berdiri atas bantuan Arya Wiraraja maka beliau diberikan “tanah lungguh” yaitu hutan Lumajang termasuk Gunung Bromo dan sampai tepi timur Jawi Wetan, sampai selat Bali pada tahun 1294. Pada Babad tanah Blambangan dimuat, ”Wit prekawit tanah Lumajang seanteron ipun kedadosaken tanah Blambangan.” Yang artinya Beliau memerintah Blambangan sejak tahun 1294 sampai 1301 dan diganti oleh putranya yang bernama Arya Nambi dari tahun 1301 sampai 1331. Setelah perang Nambi 1331 kerajaan Blambangan kosong tidak ada yang memerintah sampai tahun 1352. Kemudian diangkatlah Sira Dalem Cri Bhima Chili Kapakisan di Blambangan yang merupakan saudara tertua Dalem Cri Bhima Cakti di Pasuruan, Dalem Cri Kapakisan di Sumbawa dan Dalem Cri Kresna Kapakisan di Bali. Melalui perjalanan sejarah yang cukup panjang, pusat-pusat pemerintahan seringkali berpindah-pindah namun perpindahannya cenderung ke arah wilayah timur Jawa Timur.

Raja ke-17 yang bernama Pangeran Tanpa Una diangkat di Lumajang menjadi Raja tahun 1637 yang kemudian memindahkan keraton ke Kedhawung dan beliau menjadi Pangeran Kedhawung dari tahun 1639 sampai 1649. Setelah amat tua beliau menyepi bertapa di hutan Kedhawung menjadi Bhegawan. Pemerintahan digantikan oleh putranya yang juga bernama Pangeran Kedhawung pada tahun 1649 sampai 1652 yang lebih dikenal sebagai Prabu Tawang Alun, merupakan Raja Blambangan ke-18. Karena suatu hal beliau bertapa melakukan semedhi menjadi Bhegawan Bayu, namun rakyat mengangkat menjadi Pangeran Bayu tahun 1652 sampai 1655. Dalam pertapaannya di hutan bayu kidul wetan redi Raung, beliau mendapat petunjuk untuk berjalan “ngalor wetan” bila ada “macan putih” beliau harus duduk di atas macan putih dan mengikuti perjalanan macan putih itu menuju hutan Sudhimara (Sudhimoro) dan terjadilah keajaiban tersebut. Prabu Tawang Alun mengelilingi hutan seluas 4 km2 yang selanjutnya merupakan luas keraton Macan Putih yang dibangun pada tahun 1655.

Pada dasarnya Banyuwangi diidentikkan atau disamakan dengan Blambangan karena kerajaan Blambangan terakhir terdesak ke arah timur. Terakhir sisa kerajaan Blambangan yang rakyatnya dipimpin oleh Pangeran Jogopati dan Srikandi Blambangan yang bernama Mas Ayu Wiwit yang masih menganut Hindu dan Budha mempertahankan diri di desa Bayu yang peristiwa ini selanjutnya dikenal sebagai perang “Puputan Bayu” pada tahun 1771 melawan serbuan Belanda yang bermarkas di desa Songgon dan melawan rakyat Madura pesisir Jawa Timur yang dipimpin oleh Ki Suradiwirya dan Ki Pulangjiwa. Mas Ayu Wiwit sebagai Srikandi Blambangan dan Pangeran Jagapati bersama para pemimpin pasukan seperti Ki Keboundha, Ki Tumbhakmental, Ki Kebogegambul, Ki Kidang Salendhit, Ki Sudukwatu, dan Ki Jagalara dengan gigih mempertahankan tanah Blambangan. Perang Puputan Bayu ini terjadi mulai 02 Agustus 1771 sampai 18 Desember 1771 dimana pada tanggal terakhir tersebut ditetapkan sebagai Hari Jadi Banyuwangi.

[Hangat-News]

0 komentar:

Posting Komentar