TERINGAT Steve Jobs, saya teringat sebuah momen di film The Prestige (2006).
Di film itu ada tokohnya bilang begini, “Setiap trik sulap memerlukan 3 bagian aksi. Bagian pertama disebut ‘The Pledge’, saat pesulap menunjukan sesuatu yang biasa: setumpuk kartu, seekor burung, atau seorang manusia.
“Dia menunjukkanmu bendanya. Mungkin juga ia memintamu memeriksanya untuk memastikan benda itu nyata, tidak diubah, atau normal saja. Tapi tentu… benda itu mungkin tak biasa.
“Aksi kedua disebut ‘The Turn’. Pesulap mengubah sesuatu yang biasa jadi luar biasa. Saat itu kau mencari apa rahasianya… tapi kau takkan menemukannya, sebab kau tak melihatnya sungguh-sungguh. Kau tak hendak tahu. Kau ingin diperdaya.
“Tapi kau belum bertepuk tangan. Karena membuat sesuatu menghilang tidaklah cukup; pesulap harus mengembalikan apa yang hilang itu. Untuk itu setiap trik sulap perlu aksi ketiga, bagian yang paling sulit, bagian yang kami sebut ‘The Prestige’.”
Apa yang dilakukan Steve Jobs setiap kali memperkenalkan produk terbaru Apple persis sebuah pertunjukan sulap. Ia melakukan aksi The Pledge, The Turn, dan The Prestige selayaknya pesulap ulung. Jobs biasanya berdiri sendirian di panggung dengan latar hitam. Hanya ia yang jadi pusat perhatian.
Bak seorang pesulap, Jobs seolah memainkan tongkat ajaibnya mengubah layar hitam dan memunculkan gambar produk yang dikenalkannya. Trik sulap Jobs adalah memperlihatkan keajaiban yang bisa dilakukan produk-produknya, entah iPod, iPhone, atau iPad. Lantas, setiap trik sulap Jobs selalu berhasil memukau penontonnya. Apa yang dibuat Jobs selalu laku keras.
Situs majalah Economist, Kamis (6/10), dalam obituarinya yang indah mengenang Jobs menulis, “Tidak ada seorang pun di industri komputer, atau industri apa pun sebetulnya, yang mampu membuat pertunjukan seperti Steve Jobs.”
Sekarang “pesulap” itu sudah tiada. Jobs meninggal di usia 56 tahun akibat penyakit kanker pankreas yang dideritanya sejak 2004. Dunia seakan serempak berduka mendengar kabar ia meninggal. Kepergian Jobs ditangisi selayaknya seorang seniman besar atau negarawan berpengaruh meninggal.
Dan, kepegian Jobs memang pantas diberi kehormatan demikian.
Jobs termasuk para perintis, yang di tahun 1970-an lampau, sudah melihat potensi menjual komputer bagi khalayak ramai. Bedanya Jobs dengan para perintis lain, para insinyur di perusahaan komputer macam IBM atau Hewlett-Packard masa itu, dicatat Economist, ia melihat komputer dari sisi luar, sebagai pengguna, bukan dari dalam, sebagai insinyur.
Hal ini sudah dimulai sejak masa mudanya. Lahir 24 Februari 1955. Berasal dari keluarga bermasalah dan diadopsi Paul dan Clara Jobs. Saat SMA ikut kursus di perusahaan komputer Hewlett-Packard bekerja dengan idolanya Bill Hewlett. Karena berprestasi, Steve kemudian dipekerjakan jadi karyawan paruh-waktu.
Tapi pengalaman hidup Jobs tak hanya bergelut di “bengkel” komputer bak kutu buku yang tidak suka gaul. Masa mudanya terbilang penuh warna. Ia drop out dari kuliah pada usia 17 tahun, berkunjung ke India, masuk Buddha, dan coba-coba obat-obatan psikadelik yang memabukkan hingga akhirnya kembali ke California, ikut mendirikan Apple di garasi rumahnya “Banyak orang di industri (komputer) ini tak memiliki pengalaman hidup berwarna,” kata Jobs suatu kali. “Jadi mereka tak punya cukup titik-titik untuk dihubungkan dan hasilnya adalah solusi linear yang sangat datar.”
Jobs dikenang sebagai sosok visioner karena visinya kemudian terbukti mengubah hidup kita. Secara berseloroh, saya mengira ia berasal dari masa depan, datang ke masa kini untuk membocorkan teknologi masa depan pada kita.
Contoh kecil visi Jobs yang mengubah kita, ia termasuk insinyur komputer era awal yang mengenalkan fungsi mouse (tetikus) dan grafik interface (antar-muka), yang memungkinkan pengguna mengoperasikan komputer bukan dengan mengetik perintah di keyboard melainkan dengan meng-klik ikon di layar.
Bicara desain komputer Apple, orang takkan habis mengagumi pilihan desainnya. Desain Apple seolah dicontek Jobs dari desain komputer masa depan. Tidak kaku sekaligus indah bercitarasa seni.
Jobs kemudian memandang kesenian (dan dunia hiburan) sebagai target pasarnya. Jobs tidak hanya dikenal sebagai si penjual komputer canggih nan cantik, tapi juga menjual pemutar lagu yang ikut berkontribusi pada revolusi dunia musik: mengubah cara orang mendengar lagu. Pada 2001, Jobs melucurkan pemutar musik iPod. Tidak cukup hanya menjual pemutarnya, Jobs juga membuka toko virtual tempat orang bisa membeli lagu secara digital. Kini, “toko apel” Jobs tak hanya menjual lagu, tapi juga film, buku, koran, majalah, games, dan berbagai aplikasi lain.
Jobs juga berperan dalam revolusi sinema. Ia membeli murah Pixar dari George Lucas. Perusahaan itu tak menunjukkan tanda-tanda bakal menghasilkan untung pada awalnya. Tapi, Jobs berkomitmen untuk menghidupi perusahaan pembuat animasi komputer itu dengan berbagai percobaan mereka. Kesabaran Jobs terbayar saat Pixar berhasil membuat film panjang pertama yang sepenuhnya berwujud animasi komputer berjudul Toy Story (1995). Sejak itu, revolusi animasi komputer dimulai.
Lantas, apa yang membuat Jobs begitu berhasil dengan “trik sulap”-nya?
Jawabnya cinta. Jobs selalu berbicara dengan penuh kebanggaan atas yang dikerjakannya bersama karyawannya di Apple. “Pekerjaanmu akan menghabiskan sebagian besar sisa hidupmu, dan satu-satunya merasa bahagia dengan pekerjaanmu adalah kau harus percaya kalau yang kau kerjakan adalah sesuatu yang berarti. Dan satu-satunya untuk berhasil melakukan pekerjaan yang berarti adalah dengan mencintai pekerjaanmu,” ujarnya saat berpidato di Universitas Stanford pada 2005.
“Jika kau belum menemukan pekerjaan yang kau cintai, teruslah mencari. Jangan berdiam diri. Kau bisa merasakan dengan hatimu bila telah menemukannya. Dan, seperti hubungan asmara yang berlangsung baik, rasa cinta itu semakin hari kian tumbuh.”
[Hangat-News]
0 komentar:
Posting Komentar