SEORANG kawan yang biasa menulis sinetron di situs ini mengatakan, poster film ini, Tendangan dari Langit, sangat khas rumah produksi yang membuatnya, SinemArt.
Rumah produksi milik Leo Sutanto itu punya ciri khas menampilkan foto ukuran dada para bintangnya di poster. Tengok saja poster sinetron SinemArt yang tengah tayang: Putri yang Ditukar, Anugerah, dan Dari Sujud ke Sujud.
Poster Tendangan dari Langit (selanjutnya disebut TDL) menampilkan deretan para bintangnya berpose. Selain gambar Yosie Kristanto dengan pose khas usai membuat gol, poster filmnya lebih menonjolkan sosok bule tampan sedang tersenyum sebagai point of interest. Itulah
Irfan Bachdim, pesepakbola nasional berwajah ganteng. Di samping kiri Bachdim, terdapat kawan satu timnya Kim Kurniawan.
Seakan tak cukup menampilkan dua pesepakbola ganteng di poster, nama Irfan dan Kim ditempatkan terpisah dari deretan pemain seolah mengatakan film ini istimewa karena menjadi penampilan perdana Irfan dan Kim di layar lebar.
Jika menganut defenisi poster sebagai undangan bagi penonton film, yang hendak dijual film ini pertama-tama adalah Irfan dan Kim.
Padahal, tanpa terlalu menjual Irfan dan Kim, film ini seharusnya lebih percaya diri pada kekuatan kisah maupun penyajiannya.
***
Dalam bukunya yang kemudian jadi klasik, sosiolog dan sejarawan Belanda Johan Huizinga menyebut manusia sebagai homo luden alias makhluk bermain. "Bermain tak mungkin dielak manusia," tulis Huizinga di bukunya Homo Ludens yang terbit pertama 1938. "Anda bisa menampik, bila memang ingin, hampir semua konsep abstrak: keadilan, kecantikan, kebenaran, kebaikan, pikiran, Tuhan. Anda bisa menampik hal yang serius, tapi tidak permainan."
Sejak lahir, pertama-pertama manusia sudah menemukan asyiknya bermain. Bayi senang bermain dengan warna, cahaya, maupun benda-benda. Anak-anak lebih senang bermain ketimbang disuruh belajar.
Sepak bola ditahbiskan sebagai permainan olahraga paling populer di bumi. Bangsa Cina mengklaim sebagai penemu permainan sepak bola, tapi permainan bola yang disepak ditemukan di berbagai kebudayaan mulai dari bangsa Maya di benua Amerika hingga Italia masa Renaisans.
Sepak bola dengan segala keindahannya persis sebuah film yang berlangsung 2 kali 45 menit. Saat membuat daftar film sepak bola pilihan, saya menulis sepak bola punya kemiripan dengan film. Di situ ada perjuangan untuk meraih cita-cita (baca: kemenangan), ada tokoh antagonis (baca: tim lawan), juga pahlawan (baca: pencetak gol), dan terutama, selama 90 menit, sepak bola—persis film—punya jalan cerita yang akan membuat kita bergelora ataubersedih. (Lihat daftar film-film sepak bola pilihan di sini)
Film tentang sepak bola memiliki tingkat keseruan ganda, serunya sebuah film sekaligus sebuah permainan.
***
Dalam terminilogi sinema dikenal istilah sport film alias film olahraga. Fim sepak bola termasuk di dalamnya. Saya menemukan esai panjang Walt Opie menjelaskan apa itu sport film.
Tulisnya, sport film melampaui berbagai genre mulai dari drama, komedi, biopic, dokumenter, action/thriller, bahkan musikal.
Sport film umumnya punya formula baku yakni premis yang dirumuskan sebagai berikut: seorang/tim/pelatih yang tak diperhitungkan (underdog), harus berjuang menghadapi lawan yang diunggulkan dalam sebuah cabang olahraga demi membuktikan diri jadi yang terbaik/juara dalam cabang olahraga tersebut.
Rumusan ini sudah nyaris jadi klise. Tapi, hebatnya genre sport film, yang klise tetaplah menarik untuk disaksikan karena terutama kisah seperti itu berpotensi mengaduk emosi penonton. Saat sang jagoan meraih kemenangan, kita ikut gembira karena kita telah melihat perjuangannya yang berat.
***
Oke, cukup sudah berteori, mari tengok film ini. Terus terang TDL mengingatkan saya pada sport film Hollywood, Goal! The Dream Begin (2005). Di film Goal! kita dikenalkan pada Santiago Munez (diperankan Kuno Becker), seorang pemuda miskin berdarah Hispanik di Los
Angeles yang berbakat main bola. Bakatnya ditemukan Glen Foy (Stephan Dillane), mantan pemain dan pelatih sepak bola dari Inggris. Foy membuka kesempatan bagi Santiago untuk mewujudkan mimpinya merumput di Liga Inggris. santiago mengambil kesempatan itu dan berusaha meaih mimpi sambil melawan semua tantangan yang dihadapinya.
Kisah TDL mirip-mirip. Di sebuah desa di lereng gunung Bromo tersebutlah Wahyu (dimainkan dengan asyik oleh Yosie Kristanto), seorang siswa SMA yang punya bakat alam jago main bola. Di tanah lapang berdebu di kaki gunung, wahyu mengolah bola yang dalam bahasa Jawa-Timuran disebut bal-balan.
Bakatnya dilirik Hasan, pelatih sepakbola kampung yang menganggap bakat Wahyu bisa mendatangkan uang. Wahyu dikenalkan pada juragan kampung, Pak Gatot (Toro Margens) dan dijadikan pemain bola yang siap membela kampungnya dalam pertandingan.
Di sini kemudian film karya Hanung Bramantyo ini terasa khas Indonesia. Di pojok desa, sepak bola tak cuma jadi olahraga populer tapi juga ajang pertaruhan. Pemuda seperti Wahyu dimanfaatkan bakatnya demi meraih keuntungan. Tentu, Wahyu juga mendapat uang. Fenomena sepak bola kampung dengan segala aroma perjudian dan gengsi antar kampung membuat film ini khas lokal.
Hasil keringat Wahyu kemudian menjadi kuda sebagai hadiah bagi ayahnya (Sujiwo Tejo). Ayah Wahyu ini tadinya begitu membenci sepak bola. Sepatu bola milik Wahyu bahkan dibakarnya. Masa lalunya yang pedih dengan sepak bola membuatnya begitu membenci olahraga itu.
Sport film Hanung ini punya banyak konflik. Konflik ayah-anak yang menguras emosi di awal film diselesaikan di separuh film dengan wahyu menghadiahi kuda pada sang ayah. Babak kedua filmnya menyoroti perjuangan Wahyu jadi pemain bola profesional.
Kesebelasan Persema di Malang jadi jalan wahyu menuju pemain profesional. Jalan ke situ sayangnya dibuat terlalu gampang. Apalagi saat momen Wahyu diketahui kakinya menderita penyakit yang membuat mimpinya jadi pemain bola buyar. Kita melihat Wahyu menangis di kamar. Ayahnya meradang. Kawan-kawannya di sekolah khawatir. Situasi terasa emosional bagi kita, penonton film ini.
Tapi situasi emosional itu begitu gampangnya diselesaikan saat pelatih Persema dan asistennya, Irfan Bachdim, serta Kim Kurniawan datang ke rumah Wahyu sambil bilang kalau kesempatan jadi pemain bola masih terbuka. Lha, kenapa nggak bilang dari tadi? Anaknya sudah nangis-nangis, tuh. Semua orang sudah ribut.
***
Kisah soal protagonis mengidap penyakit juga dimiliki film Goal!. Tapi penyelesaian dalam Goal! lebih logis dan tidak terasa gampang dan terburu-buru. Goal! juga kemudian melebarkan konfliknya saat Santiago, sang anak dusun dari kelas bawah, gegar budaya dengan glamournya sepak bola Liga Inggris. Di sini, para bintang asli menjadi cameo saat para pesepakbola bersantai di klub malam elit.
Film ini tak hendak bercerita sejauh itu. Hanung malah lebih tertarik mengurai lagi kisruh sepak bola nasional mulai dari kekalahan di piala Tiger hingga kompetisi LPI yang tak direstui. Buat saya, kisah yang sudah basi ini jadi kehilangan konteksnya karena toh kisruh PSSI sudah kelar. Liga LPI malah kabarnya bakal dilebur.
Sub-plot soal kisruh sepak bola yang jadi panggung buat Irfan dan Kim jadi kehilangan maknanya sebagai kritik. Kisah soal Wahyu malah lebih mengikat emosi kita.
Sampai di sini, buat saya, kehadiran Irfan dan Kim jadi terasa mubazir. Tapi jika Anda bersikukuh mencari manfaat penampilan perdana Irfan dan Kim mungkin ya hanya sebatas penarik perhatian kalau film ini menampilkan mereka berdua. Wajah Irfan dan Kim serta nama mereka bisa ditulis besar-besar di poster.
Buat saya, pertunjukkan sesungguhnya adalah kisah seru anak manusia mewujudkan mimpinya. Ya kisah soal Wahyu, kisah kawan-kawannya yang kocak, maupun cinta ABG anak SMA yang dialaminya. Ah andai film ini lebih percaya diri pada potensi kisahnya serta setia pada format klasik sport film hasilnya pasti lebih menggetarkan dari yang sudah saya saksikan.
***
"Who is Irfan Bachdim?" tanya seorang tokoh di film ini.
Jawaban tepatnya mungkin begini: pemikat, tapi sebetulnya tak penting.***
[Hangat-News]
0 komentar:
Posting Komentar