Hi quest ,  welcome  |  sign in  |  registered now  |  need help ?
Iklan
Kunjungi Sponsor Kami
Terimakasih
Semoga Artikel Bisa Bermanfaat
[x]

Up, Close, and Personal with Anggun

Written By admin on Selasa, 31 Mei 2011 | 07.17

anggun-ryan-

ANGGUN (Ryan/BI)

DALAM rangka promo album kelima, Anggun kembali ke tanah air. Lewat album Echoes, wanita berkulit eksotis ini ingin isi hatinya lebih menggema.

Di sela-sela kesibukannya di tanah air, Anggun menyempatkan diri untuk berbincang sejenak bersama kami. Ditemui di Mandarin Oriental Hotel Jakarta, Minggu (29/5), Anggun menyambut kami dengan senyum lebar yang khas dari dirinya.

Dalam balutan tube dress berwarna peach, Anggun berbagi kisah seputar album terbaru, ambisi, serta serunya mengajari sang buah hati berbahasa Indonesia.

Berikut petikan perbincangan kami dengan pemilik nama lengkap Anggun Cipta Sasmi itu:

Apa yang disampaikan lewat Echoes?

Album ini tidak hanya menceritakan kehidupan pribadiku, ada cerita teman-temanku juga. Makanya album ini dinamai Echoes, gema tentang kehidupan. Kalau dibaca lirik-liriknya, isinya tidak melulu tentang cinta. Isinya lebih lebar, tentang angle hidup yang lain, yang membuat orang mestinya bahagia tapi entah kenapa, malah tidak bahagia.

Dalam lagu Buy Me Happiness, misalnya. Cerita tentang seseorang yang kaya-raya, koleksi sepatunya segudang. Tapi tetap saja, kekayaan tidak bisa membeli kebahagiaan.

Contoh lainnya dalam lagu Cold War. Aku sempat baca buku-buku motivasi dan pernah membaca bahwa kalau kita sedang bimbang, listen to yourself, listen to the voice inside. Tapi “suara” yang mana yang harus didengar? Di dalam diri ini ada banyak “suara”, antara isi hati dan keinginan. Yang dimaui hati tidak selalu rasional dan manusiawi. Intinya, tentang mengenali diri sendiri.

Kenapa beralih dari topik cinta ke kehidupan?

Sekarang umurku 37 dan sudah punya anak. Orang-orang bilang kalau sudah punya anak, hidup akan berbeda. Awalnya terdengar cuma teori dan klise, tapi sekarang jadi betulan. Baru terasa setelah anakku lahir. Sebelumnya, segala sesuatunya difokuskan ke aku. Waktu anak lahir, center-nya di dia. Setiap hari bangunin dia, harus mikirin apa yang harus dia lakukan hari ini. Tidak ada satu haripun aku nggak mikirin dia. Otomatis, cara berpikir pun berbeda.

Untuk hal-hal lain juga aku jadi lebih peduli. Misalnya di PBB yang tadinya cuma jadi juru bicara, sekarang jadi goodwill ambassador. Karena, ya, itu tadi, kita hidup tidak sendiri.

Jadi sekarang lebih mengutamakan idealisme ketimbang profit?

Profit tidak ada hubungannya dengan artistik. Ini pekerjaanku. Waktu aku jadi produser untuk album sendiri, aku jadi lebih bebas, tidak punya bos, tidak diatur label. Aku bebas memilih lagu sendiri, tidak perlu berantem dulu dengan label atau produser. Karena aku tidak mau begini lagi, makanya aku pilih untuk memproduseri sendiri.

Showbiz itu terdiri dari dua kata, show dan bisnis. Jadi kalau mau bicara tentang profitniya, tanya sama orang label. Profit tidak ada hubungannya dengan bagaimana aku menulis lagu.

Dalam menulis lagu dan membuat aransemen, apakah Anggun selalu mengikuti tren musik yang sedang hits?

Bagi orang lain mungkin salah, tapi aku kurang suka ikut tren. Menurut aku, album ini lebih lux. Kalau membuat aransemen dengan programasi, sehari bisa bikin 3-4 lagu. Di album ini, kita pakai musisi, 1 lagu bisa makan waktu 2-3 hari. Apalagi kalau ditambah orkestra seperti dalam beberapa lagu, 1 lagu bisa seminggu. Biayanya juga lebih mahal karena harus bayar musisi. Waktu proses rekaman, rasanya kayak ngeband lagi. Seru.

Banyak musisi potensial di Indonesia, tapi kok susah sekali untuk bisa go international?

Kalau mau nimbus (pasar musik internasional), ya, nembusnya dari sana, jangan dari sini. Namanya juga internasional, tidak bisa lewat korespondensi. Susahnya mungkin karena mereka tetap di sini. Memang harus mengorbankan (kesibukan) yang di sini kalau mau ke sana.

Buat aku, kualitas artis-artis Indonesia itu gila-gila banget. Waktu aku jadi bintang tamu di Dahsyat, ada grup hip-hop yang pakai bahasa Jawa. Saya rasa itu kreatif. Suka aneh kalau lihat rapper Korea atau daerah lain yang ngerap pakai bahasa sendiri tapi attitude-nya sangat Amerika. Apalagi waktu mereka bilang, “Yo, bro!”, harusnya jangan bilang begitu, dong. Cuma orang hitam (negro) yang bisa ngomong begitu! Hahaha…

Obsesi apa yang belum tercapai sekarang?

Husss… Jangan bilang obsesi, itu kata yang salah. Sebut saja ambisi.

Kalau aku jawab pertanyaan ini sekarang, rasanya sombong sekali, ya? Nanti saja deh, kalau sudah umur 70an. Kalau ditanya seperti ini, rasanya aku seperti sudah “di atas sana”, aku belum senior, lho.

Tadi malam aku bertemu Oom Ian Antono dan Oom Ikang (Fauzi). Kalau melihat mereka, jadi ingat masa kecil dan aku ingin tanya pertanyaan itu sama mereka, karena mereka sudah jadi pakar dan legend. Aku sih, belum apa-apa. Tapi memang, aku sangat mengapresiasi apa yang sudah aku capai sekarang. Aku tidak merendahkan apa Tuhan kasih. Bersyukur, sekali.

Bagaimana sih, caranya supaya bisa cantik seperti Anggun?

Wah, aku sih, nyalon saja jarang. Paling cuma kalau ke Jakarta, itupun kalau ada waktu. Bagi aku, dandan, make up, pakaian, itu kesannya artificial saja, untuk mempercantik diri. Tapi aku ingin orang-orang lebih melihat diri dan pribadi aku. Bukan make upnya, bukan bajunya.

Banyak yang bilang Anggun itu seksi, lho.

Terima kasih, hehe. Buat aku, seorang perempuan terlihat seksi saat dia merasa independent, cerdas, dan powerful. Bukan pakai baju macam-macam.

Bagaimana perkembangan anak sekarang?

Anakku sudah sekolah, tiga kali seminggu. September nanti mulai sekolah setiap hari. Di sana sekolahnya lama, pukul 8.30 sampai 16.30. Tidur siang di sekolah, makan siang di sekolah, karena masih pre-school.

Aku selalu bicara ke anakku pakai bahasa Indonesia. Aku nggak pernah ngobrol pakai bahasa Perancis karena aku tidak mengajari percampuran bahasa. Menurut aku itu penting. Kadang suka aneh kalau di Jakarta. Aku pernah datang ke toko buku dan lihat banyak anak-anak Indonesia, ibu-bapaknya juga orang Indonesia, tapi bicara pakai bahasa Inggris. Bahkan nanny-nya pun dipaksakan harus berbahasa Inggris. Aku sempat baca artikel di koran yang menyebutkan banyak anak Indonesia yang tidak bisa bahasa Indonesia karena di sekolahnya pun selalu dibiasakan berbahasa Inggris, seperti di sekolah bilingual atau sekolah internasional. Mereka jadi melupakan bahasanya sendiri.

Menurut aku, nasionalisme dimulai dari bahasa. Memungkiri bahasa sendiri sama dengan memungkiri darah. Bahasa lebih penting dari atribut lain yang lebih jelas dan kelihatan.

Kalau anakku pakai setengah bahasa Indonesia dan setengah bahasa Perancis, aku tanya, “Kenapa kok, pakai bahasa Perancis?”, dan anakku jawab, “Mama, aku enggak tahu bahasa Indonesianya apa.” Lalu baru aku ajari.

Papanya suka grogi sendiri. Kalau aku ngobrol berdua dengan anakku, suami suka penasaran kita sedang ngobrol apa. Habis, dia enggak mau belajar bahasa Indonesia, sih. Hehehe…

0 komentar:

Posting Komentar