MALANG, KOMPAS.com-Dilangsir Hangat-News — Mahasiswa korban cuci otak mengalami depresi sesungguhnya bukan karena ancaman orang atau lembaga yang disebut NII, melainkan karena pemberitaan media. Psikolog yang juga Pembantu Dekan III Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Zakaria Ahmad menjelaskan itu saat dihubungi di Malang, Sabtu (23/4/2011).
Zakaria adalah anggota tim yang dibentuk oleh UMM untuk menangani kondisi psikologis mahasiswa korban perekrutan dan cuci otak. UMM sendiri, menurut Humas UMM Nasrulla, sudah sejak sebulan terakhir menggerakkan tim, mengumpulkan keterangan dari para korban, dan menyerahkan data-data aspek pidana aksi cuci otak ini kepada kepolisian.
"Salah jika kami disebut mengabaikan dan mendiamkan. UMM sudah bekerja mengumpulkan fakta-fakta korban, memetakan jaringannya, dan membagi informasi kepada polisi," kata Nasrullah membantah keluhan keluarga korban bahwa UMM tak bisa mencegah menghilangnya dua mahasiswanya.
Menurut Zakaria, salah satu solusi dari problem kejiwaan para mahasiswa korban adalah segera menghentikan ekspos para korban. "Mereka menangis karena malu dan karenanya tertekan, bukan semata-mata ancaman NII atau apa, melainkan karena ekspose ini. Mereka malu kepada teman-teman dan lingkaran sebayanya bahwa dirinya bisa lalai dan menjadi korban," kata Zakaria.
Menurut Zakaria, lebih etis jika ekspos media tidak hanya berfokus pada korban, dengan cara tidak menyebut namanya secara terbuka meski saat ini sudah terlambat.
"Bayangkan jika Anda misalnya tertipu dan akibatnya berutang, lalu ditulis di koran. Apa kata teman-teman, apa kata tetangga, apa kata keluarga. Semua akan menggurui, menyalahkan, menganggap ceroboh. Dia akan kehilangan harga diri di depan teman-temannya, bisa juga di depan orangtuanya, tidak boleh minta uang lagi, dan sebagainya," kata Zakaria.
0 komentar:
Posting Komentar